Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
Apa beda Sukarno-Hatta?
Sukarno menyebut Hatta pedantik (suka nonjolin ilmu).
Sedang Hatta menyebut Sukarno, Mephistopheles. Makhluk perantara yang suka menjual jiwa manusia.
Sukarno solidarity maker. Hatta administration maker. Sukarno revolusioner, Hatta reformis.
Sukarno ingin negara kesatuan. Hatta maunya negara serikat. Sukarno anti parlementer, Hatta justru sebaliknya.
Begitulah pertalian Sukarno-Hatta. Penuh perbedaan tapi tiada saling membenci. Nothing personal. Tahu batas dan ngerti fatsun.
Penegasan sikap seperti ini pula yang ditunjukkan oleh tokoh nasional Dr Rizal Ramli ketika seorang pejabat tinggi di pemerintahan Jokowi baru-baru ini mengirimkan pesan betapa tidak mudah menangani varian Delta dalam Covid-19.
Sang pejabat yang dikenal secara dekat oleh Rizal Ramli ini tampaknya tipis telinga mendengar berbagai kritik dan solusi konkret Rizal Ramli berkaitan dengan penanganan Covid-19.
“Agar Anda tahu, sangat sulit mengatasi Delta variant. Belum ada negara yang mampu mengatasi secara total varian Delta ini,” tulis sang pejabat tinggi itu dalam pesannya kepada Rizal Ramli.
Ia langsung menuduh Rizal Ramli memiliki niat buruk di balik kritik yang kerap disampaikannya.
“Jangan menambah buruk keadaan karena kebencian, atau merasa paling hebat,” kata pejabat tersebut.
Rizal Ramli yang saat di dalam maupun di luar kekuasaan selalu konsisten membela kebenaran dan memihak kepada kepentingan rakyat, sungguh tidak menyangka, kritik dan solusi yang disampaikannya selama ini terutama berkaitan dengan penanganan Covid-19, ternyata dianggap sebagai niat buruk oleh pejabat tersebut.
Rizal Ramli pun menjawab enteng:
“Nothing personal. Yang dilawan Rizal Ramli dari dulu, dari era Orde Baru sampai orde yang sekarang adalah kebijakan yang merugikan rakyat. Tidak ada istilah benci, dan lain sebagainya. Itu mah norak. Rizal Ramli sudah beyond,” tegas tokoh pergerakan yang telah berkali-kali menjadi pejabat tinggi dengan tetap menjaga integritas diri ini.
Tuduhan kebencian dan prasangka seolah di balik kritik Rizal Ramli terdapat niat buruk adalah tudingan orang yang kalap, karena menafikan fakta dan track record Rizal Ramli selama ini yang sejak mahasiswa menaruh hati, pikiran, dan tindakannya buat membela rakyat.
Si pejabat pengirim pesan nampaknya juga perlu membaca sejarah bagaimana para tokoh pendiri bangsa seperti halnya Sukarno-Hatta saling berbeda pendapat untuk tujuan kepentingan rakyat. Tanpa ada kebencian dan sikap tuduh-menuduh. Kebenaran justru bisa didapat dengan dialektika pemikiran, diskusi, atau berdebat, dengan bekal data dan fakta.
Bukan dengan mengedepankan naluri primitif yaitu dengan menyembur-nyemburkan tuduhan dan prasangka buruk kepada tokoh yang justru berniat baik memberikan solusi atas persoalan yang sedang melanda negeri ini.
[***]