KedaiPena.Com- Politikus PDIP, Darmadi Durianto menekankan bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan tempat dari para begawan hukum bukan pemain teater. Hal itu disampaikan Darmadi sapaanya lantaran putusan MK soal syarat capres-cawapres tidak mencerminkan prinsip keadilan hukum secara substansial.
Putusan MK soal syarat capres-cawapres inilah yang mmenjadi jalan pembuka putra sulung Presiden Joko Widodo atau Jokowi Gibran Rakabuming Raka menjadi pendamping bacapres Koalisi Indonesia Maju atau KIM Prabowo Subianto di Pilpres 2024
“Sejatinya setiap putusan hakim yang eksekutable harus mengandung beberapa hal. Pertama, mengandung ethos (integritas). Kedua, pathos (pertimbangan yuridis bukan politis). Ketiga, logos (dapat diterima akal sehat). Jika ketiga hal ini tidak nampak, para pemutus dalam hal ini para Hakim MK patut dipertanyakan kredibilitas dan kapabilitasnya,” kata Darmadi kepada wartawan di Gedung DPR RI, Jumat,(3/11/2023).
Selain itu dan yang paling penting, lanjut Bendahara Megawati Institute ini, idealnya tiap putusan harus berdasarkan pada idee des recht.
“Kalau mengutip apa yang dikatakan Gustav Radbruch idealnya setiap putusan harus didasarkan pada tiga prinsip utama yaitu keadilan (gerechtigkeit), kepastian (rechtsicherheit) dan kemanfaatan (zwechmassigkeit)” papar pria bergelar Assc Prof Dr ini.
Anggota DPR RI dari Fraksi PDIP ini menambahkan bahwa MK bukanlah panggung teater yang mempertunjukkan kedunguan intelektual.
“MK tempatnya para begawan hukum yang sudah paripurna dari segala kepentingan bersifat pragmatis. Para hakim MK sekarang terlihat seperti para pemain teater yang hanya bekerja atas naskah/script yang dibuat sutradara dari luar,” sindirnya.
Padahal, jelas dia, jika merujuk pada bunyi pasal 1 UU no 4 Tahun 2004 bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka dalam menyelenggarakan peradilan berdasarkan pada Pancasila.
“Harusnya mereka bekerja atas dasar hukum bukan atas dasar pesanan oligarki,” tegasnya.
Kondisi semacam ini, kata dia, mengingatkannya pada sebuah cerita dongeng karya Hans Christian Andersen (The Emperor’s New Clothes).
“Dalam dongeng ini diceritakan ada seorang raja memamerkan baju kebesarannya dengan berjalan-jalan ke tempat publik, di tengah kerumunan sekumpulan anak-anak kecil mencela bahwa raja tersebut sebenarnya sedang telanjang. Tentu ini metafor.
Artinya, lanjut Darmadi, para raja atau simbol kekuasaan sedang mempertontonkan kebodohannya dengan segala kemegahannya di hadapan rakyat.
“Para hakim MK dengan jubah hukum kebesarannya pun persis seperti cerita dongeng itu tadi yaitu mempertontonkan kebodohannya secara telanjang dihadapan rakyat,” sindirnya.
Laporan: Tim Kedai Pena