Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pengamat Politik.
Kenapa penentuan bakal calon wakil presiden yang akan mendampingi Ganjar Pranowo sedemikian genting ?
Karena menurut penilaian banyak kalangan PDIP sebenarnya masih merasa resah terhadap pencalonan Ganjar Pranowo sebagai capres, sebab diakui Ganjar Pranowo memang minim prestasi.
Sedangkan intelektualitasnya tak sebanding dengan capres seperti Anies dan Prabowo.
Sehingga, seperti dikatakan sang Sekjen, Hasto Kristiyanto, di Tribunnews.com, edisi 10 September 2023, PDIP sudah menjaring lima nama untuk dikerucutkan jadi bakal calon wakil presiden yang akan mendampingi Ganjar, dan nama-nama itu sudah disampaikan oleh Puan Maharani.
Intinya, PDIP butuh figur yang benar-benar bisa mendongkrak kapasitas Ganjar Pranowo sebagai calon presiden agar dapat memenangkan Pilpres.
Menurut Hasto sangat mungkin muncul bakal cawapres kejutan yang tidak masuk dalam bursa saat ini untuk dipasangkan dengan Ganjar Pranowo.
“Ya di luar nama-nama survei yang sudah beredar juga bisa muncul suatu tokoh baru. Meskipun nama yang dikerucutkan lima. Jadi mungkin saja ada tokoh nasional yang tidak ikut berkontestasi, namun terus bekerja secara silent penuh dedikasi bagi bangsa dan negara. Sosok ini bisa saja selama ini tidak dilirik, namun memiliki rekam jejak membangun Indonesia secara progresif,” ucap Hasto.
Oleh banyak kalangan pernyataan Hasto ini direspon secara beragam. Namun umumnya menekankan pernyataan itu jangan sekedar basa-basi. Sebab bisa terjadi faktanya nanti yang muncul adalah sosok berkelas KW 3 yang ditunjuk PDIP untuk menjadi bakal cawapres mendampingi Ganjar.
Jika ini terjadi Ganjar dipastikan bakal kalah dan PDIP akan terseret terkena dampak buruknya.
Untuk bangkit dari trauma kegagalan Jokowi dalam mewujudkan cita-cita Trisakti-Sukarno dan agar dapat meraih kemenangan di Pilpres, banyak kalangan berpendapat PDIP seharusnya merangkul tokoh rakyat yang konsisten dalam memperjuangkan kebijakan pro rakyat dan ideologi Trisakti sebagai capres/cawapres.
Pendapat banyak kalangan ini bukan tanpa alasan, karena pada dasarnya di saat Orde Baru PDIP dapat menjadi besar karena melakukan aliansi strategis dengan tokoh-tokoh civil society, termasuk dengan mahasiswa.
Terutama pada saat menjelang kejatuhan Soeharto, yang kemudian pada Pemilu 1999 PDIP menjadi partai nomor satu yang muncul sebagai pemenang.
Sayangnya kemenangan dan pamor PDIP itu kini dirusak oleh Jokowi yang saat ini secara sistematis meninggalkan ideologi Trisakti-Sukarno. Kebijakan Jokowi adalah pro oligarki, bukan pro rakyat.
[***]