KedaiPena.Com – Indonesia berada pada posisi bergantung pada neoliberalisme. Saat ini, utang Indonesia 3200 triliun, dan kita harus mengembalikan utang itu selama 150 tahun. Dan sampai saat ini kita terus menambah utang-utang baru.
Pada musim kampanye Pilpres 2014, muncul sebuah harapan. Sebab, dua pasangan capres-cawapres, Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK bicara soal Pancasila.
“Saya bangga, karena dua pasangan itu mengedepankan soal kedaulatan, nasionalisme dan trisakti. Itu wacana yang tidak pernah disentuh Orba, dan tahun 2014 disentuh,” tegas akademisi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun dalam diskusi Ngopi Senja di Pamulang, Tangerang, belum lama ini.
Tapi sayangnya, hal itu hanya wacana dan tidak diterjemahkan dengan baik oleh rezim baru. Yang justru ada, Indonesia menambah utang dan bergantung satu kekuatan. Indonesia hanya jadi ajang bancakan.
“Kita tidak tahu apa yang terjadi antara China dan AS. Tapi saya yakin intelijien kedua negara itu bekerja, entah untuk mempersiapkan apa,” sambung dia.
Dan kalau elemen bangsa Indonesia tidak bersikap, maka kita jadi objek. Indonesia akan kembali ke era 1960an. itu sebuah kemunduran.
“Padahal dalam konteks Pancasila dijelaskan soal kedaulatan. Malam hari 1 Juni 1945, Bung Karno terbangun. Ini tidak biasanya. Sebabnya, ia gelisah lantaran besoknya berpidato soal falsafah dan dan ideologi bangsa. Artinya, Pancasila melalui perenungan mendalam dari proklamator. Sayangnya bangsa kita tidak konsisten, termasuk rezim hari ini,” tutur Direktur Puspol Indonesia.
Di ekonomi, Indonesia meninggalkan Pancasila dan trisakti. Indonesia bermesraan dengan neolib China dan AS. Pancasila hanya dipakai dalam pidato penguasa. Pancasila hanya menjadi pajangan.
“Padahal, Pancasila harus diterjemahkan dalam sistem poliitik, ekonomi dan budaya. Apalagi dalam sistem politik, kita begitu liberal, musyawarah tidak dipakai. Belum lagi di budaya,” kecewa dia
(Prw/Dims)