Artikel ini ditulis oleh Sugiyanto (SGY) Emik, Pemerhati Sosial.
Pada Senin, 9 September 2024, Satpol PP Jakarta Utara melakukan penggusuran terhadap 32 bangunan warga yang menjadi tempat tinggal dan tempat usaha di Jalan Pluit Karang Karya. Lokasi ini berada di sebelah kiri pabrik biskuit Regal, kawasan pergudangan Jembatan 3 Barat, tepatnya di belakang gudang minyak Bimoli. Informasi ini saya terima pada pukul 08.10 dari sahabat saya, Darmanayah.
Sebagai respon, saya menulis artikel yang saya unggah di akun Facebook pribadi dengan judul, “DPRD Baru Perlu Bersikap: Hentikan Pembongkaran 32 Rumah Warga di Pluit Hingga DPRD Baru Tahu Permasalahan Intinya.” Selain itu, saya juga menulis puisi satire berjudul, “Andai Aku Anggota Dewan, Kubuat Jalan ke Surga.” Sikap ini adalah bentuk kepedulian saya terhadap warga Jakarta, apalagi pesan tersebut datang dari rekan seperjuangan di dunia media.
Saya berpendapat bahwa meskipun warga bersalah sekalipun, hak-hak mereka, terutama hak asasi manusia, harus tetap dihormati. Langkah saya ini mendapat respon dari anggota DPRD, Ida Mahmuda, yang berusaha menghubungi pihak terkait. Meskipun upaya Ida gagal karena penggusuran tetap dilakukan, langkahnya patut diapresiasi.
Malam hari setelah penggusuran, saya mendatangi lokasi dan bertemu dengan warga yang terdampak. Berdasarkan keterangan warga, mereka telah tinggal di lokasi ini selama 20-40 tahun. Penggusuran dilakukan sangat cepat, diduga tanpa adanya kompromi atau solusi yang adil. Proses penggusuran diduga hanya memakan waktu 1-2 bulan.
Saya menyaksikan sendiri dampak penggusuran terhadap warga. Beberapa warga terpaksa menumpang di rumah keluarga terdekat, sementara yang lain masih bertahan di lokasi penggusuran. Di antara mereka terdapat manula dan balita yang kebingungan mencari tempat bermalam. Melalui Darmanayah, warga meminta bantuan tenda untuk bermalam di lokasi. Namun, saya kesulitan mendapatkan tenda karena hari sudah larut malam.
Masalah ini kemudian saya informasikan melalui grup-grup WA. Senator terpilih dari Provinsi DKI Jakarta periode 2024-2029, Ahmad Azran, merespon dengan memberikan bantuan berupa lima penginapan murah di sekitar lokasi penggusuran untuk ibu-ibu, balita, dan manula agar mereka bisa beristirahat malam itu. Tindakan Senator Jakarta ini murni didasarkan pada kepedulian kemanusiaannya.
Pada hari Selasa (10 September 2024), Darmanayah kembali menanyakan soal tenda, namun saya masih belum dapat mencarikannya karena ada keperluan lain. Berdasrkan info dari Darmansyah, hingga Rabu (11 September 2024), warga masih berada di lokasi penggusuran.
Dari kejadian ini, saya menyimpulkan bahwa meskipun penggusuran adalah hak pemerintah sesuai peraturan, persoalan kemanusiaan tetap harus diperhatikan. Warga yang tempat tinggalnya digusur adalah manusia, bukan hewan, yang bisa dibiarkan begitu saja tanpa tindakan kemanusiaan.
Oleh karena itu, saya merasa perlu mengekspresikan kemarahan ini dan menghimbau Komnas HAM dan DPRD baru DKI Jakarta untuk lebih memperhatikan aspek kemanusiaan pasca penggusuran 32 bangunan warga di Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara. Pemerintah Administrasi Jakarta Utara dan Provinsi DKI Jakarta, di bawah kepemimpinan Pejabat (Pj) Gubernur Heru Budi Hartono, juga wajib memperhatikan persoalan kemanusiaan yang timbul pasca penggusuran tersebut.
Penggusuran ini menimbulkan pertanyaan mendasar terkait kebijakan pemerintah terhadap permukiman informal dan hak-hak warga. Tindakan penggusuran bukan hanya soal legalitas, tetapi juga menyentuh aspek-aspek kemanusiaan yang sering kali terabaikan.
Konstitusi Indonesia tegas mengatur tentang HAM. Dalam konteks ini, setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Namun, penggusuran tanpa solusi memadai sering kali melanggar hak ini. Warga yang tergusur kehilangan akses terhadap hunian tetap dan aman, yang berpotensi memengaruhi kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial mereka.
Permukiman informal memang sering dianggap ilegal, tetapi status legalitas tidak bisa mengabaikan hak dasar warga untuk hidup di tempat yang layak. Penggusuran tanpa penyediaan hunian pengganti yang layak mengabaikan prinsip kemanusiaan dan melanggengkan kemiskinan.
Atas dasar uraian tersebut, saya berharap Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) perlu segera bersikap. DPRD DKI Jakarta yang baru perlu melakukan inspeksi mendadak dan memangil pihak-pihak terkait untuk mempertanyakan soal kemanusiaan dan HAM pasca penggusuran 32 bangunan di Pluit, Penjaringan.
Jakarta, Kamis, 12 September 2024
[***]