KETIKA nanti benar-benar berlangsung rencana Ahok untuk bicara dengan Teman Ahok terkait perkembangan mutakhir peluangnya untuk maju menjadi Gubernur DKI Jakarta lewat jalur parpol (PDIP, Golkar, Hanura, Nasdem, dan partai lain yang mungkin saja segera mengekor), maka yang mengiringi adalah formula dari “manajemen penyelamatan muka” Teman Ahok.
Ya, sudah terlanjur kuat gaungnya sejak awal di hadapan publik, Teman Ahok mengekspresikan ketidaksukaan terhadap parpol.
Memang pasca keputusan itu nanti, sepertinya akan ada saja satu-dua-tiga-empat orang atau rombongan yang menyempal. Itu sih wajar-wajar saja.
Lagian jika memang ada, si penyempal itu pun, tidak bakal dapat porsi pemberitaan yang kuat yang akan mengganggu secara signifikan keputusan politik mengusung Ahok lewat jalur parpol.
Dan penyempalan itu pun jika memang ada, anggap saja hitung-hitung sebagai bagian dari ongkos buang sial dari proses demokrasi ala cukong dan taipan.
Atau jika pasca keputusan itu kemudian ternyata ada diantara Teman Ahok, yang secara diam-diam ataupun menyolok, berubah taraf kehidupan ekonominya maupun fasilitas yang dimilikinya secara drastis dibanding sebelumnya.
Dan dibanding rombongan rekan seperjuangan yang lain karena lebih lincah membuat manuver yang berimplikasi finansial, maka sebaiknya disikapi dengan berprasangka baik saja, bahwa Tuhan sedang sayang dan mencurahkan karunianya pada mereka-mereka yang pandai memanfaatkan kesempatan dalam situasi politik tertentu, dalam rangka menguji sejauh mana orang itu nantinya bersyukur.
Namun jika memang terjadi, yang penting, apapun implikasi yang mengikuti keputusan Ahok maju lewat jalur parpol itu nantinya, satu hal yang tidak boleh tidak, bahwa para cukong dan taipan harus dipastikan bisa terus tersenyum semanis-manisnya, sambil sesekali bolehlah berdiri mengangkang.
Meski remehan-remehan makanannya bolehlah dipatoki para politisi kroninya bak ayam jago mematoki gabah.
Dan yang juga sangat penting dipastikan, agar segala selera dan hasrat apapun yang datang dari para cukong dan taipan itu dalam konteks pembangunan, entah itu membuat proyek ini-itu, menggusur ini-itu, dapat terus menjadi panduan sekaligus penciptaan selera rakyat seluas-luasnya.
Dari kalangan kelas menengah sampai maupun kaum miskin dan melarat, atas arah pembangunan versi para cukong dan taipan.
Nanang Djamaludin, KIAT 98 (Komunitas Intelektual Aktivis 98)