PARTAI Nasdem menyomasi mantan Menko Perekonomian era Gusdur, Rizal Ramli. Partai dengan mengusung motto restorasi sepertinya lupa demokrasi.
Ancaman somasi terhadap Dr. Rizal Ramli menurut saya jauh dan tidak tepat. Apalagi mereka berlindung dengan pernyataan berdasarkan persepsi bahwa mengeritik menteri menjatuhkan martabat presiden.
Katanya partai restorasi, tapi belakangan motto tersebut sudah hilang tidak kedengaran lagi. Istilah milenialnya baper manakala dikritik.
Rizal Ramli tidak perlu menanggapi ancaman somasi tersebut, sebaiknya dicuekin saja.
Pernyataan RR di ruang publik mengeritik Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita yang secara fakta kerjaannya impor melulu dan melebihi kebutuhan, pastilah merugikan rakyat.
Dan hal ini salah satu penyebab dolar melonjak karena defisit neraca perdagangan, dimana nilai impor lebih banyak dari ekspor.
Ketua Umum Surya Paloh harusnya menegur bawahannya, karena Mendag diusung dari partai restorasi.
Dan juga Presiden menegur Surya Paloh karena tindakan menteri sokongannya berakibat turunnya elektabilitas Jokowi.
Itu hal yang sangat wajar dalam alam demokrasi. Entah kenapa partai restorasi mulai tidak paham tentang demokrasi.
Menganggap bahwa yang direndahkan martabatnya adalah Presiden Jokowi karena yang dikritik menteri menunjukan partai restorasi hendak berlindung di bawah ketiak kekuasaan Presiden.
Saya kira mereka lupa berhadapan dengan siapa. RR seorang aktivis pergerakan sejak 77-78 selalu kritis terhadap penguasa manakala tidak berpihak pada kepentingan rakyat.
Bagi para aktivis mengensal RR sebagai pejuang atau patriot yang tiada matinya. Sejak dulu selalu paling kritis manakala membela kepentingan rakyat, dan tidak mengenal takut, kecuali sama Allah SWT itu yang sering didengungkan oleh Rizal Ramli.
Menurut hemat saya, sebagai partai yang mengusung restorasi tapi tidak lagi membuka ruang demokrasi, maka Nasdem bisa dihukum oleh rakyat saat pileg.
Sebabnya, mereka terkesan membela kepentingan mafia impor bahan pangan, yang dimanjakan oleh Menteri Perdagangan.
Oleh Ir. Syafril Sofyan, pengamat kebijakan publik, Koordinator Sekretariat Aktivis Gerakan 77-78