Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
Partai Politik mencengkeram. Merusak demokrasi, Konstitusi dan bangsa dan negara, menjelma dan membentuk pemerintahan otoritarian dan tirani, dengan cara melanggar konstitusi.
Perusakan bangsa dan negara dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Menurut konstitusi, pasal 6A ayat (2), calon pasangan presiden dan wakil presiden diusulkan oleh satu atau gabungan partai politik. Arti “gabungan” harusnya bersifat suka rela, bukan memaksa. Artinya, kalau ada partai politik tidak mau bergabung dengan yang lain dalam pencalonan presiden, tetapi mau mengusulkan capres sendiri, maka menurut konstitusi dibolehkan.
2. Ketentuan konstitusi tersebut kemudian dilanggar. Undang-undang pemilu menetapkan presidential threshold 20 persen dari perolehan kursi di parlemen. Artinya, partai politik tidak bisa mencalonkan presiden kalau perolehan kursinya di parlemen kurang dari 20 persen. Maka itu, mereka dipaksa bergabung dengan partai politik lain agar dapat memenuhi threshold 20 persen.
3. Pelanggaran konstitusi pencalonan presiden ini mengakibatkan Partai Politik membentuk kartel, atau persekongkolan, yang dibungkus dengan bahasa “koalisi”. Persekongkolan ini membuat jumlah calon presiden menjadi terbatas, dan partai politik dengan mudah menguasai calon presiden, dan kemudian menguasai presiden terpilih (eksekutif), dan kabinetnya.
4. Karena partai politik menguasai legislatif (DPR) dan eksekutif (kabinet), maka check and balances tidak berfungsi: fungsi pengawasan DPR terhadap pemerintah tidak berfungsi. Bahkan undang-undang dibuat bukan untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk kepentingan anggota DPR dan pemerintah: artinya untuk kepentingan partai politik dan kroninya (pengusaha oligarki). Antara lain, UU KUHP, KPK atau Ciptakerja. Dan sekarang sedang proses pembuatan UU PSPP (Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan): penguatan atau pelemahan?
5. Selain itu, lembaga independen juga lumpuh. Semua pimpinan lembaga independen dicalonkan dan diseleksi oleh DPR maupun pemerintah. Lembaga independen dibuat menjadi tidak lagi independen, tetapi wajib mengikuti aturan main DPR dan eksekutif: partai politik dan kroninya. Misalnya KPU, Bawaslu, BPK, Komnas HAM, KPK, OJK, dan lainnya, semuanya sulit dikatakan masih independen, termasuk Bank Indonesia sudah tidak murni lagi independen?
6. Pengusaha terlibat politik secara langsung, menjadi menteri dan anggota DPR, ikut mengatur dan menentukan calon pemimpin boneka yang bisa diatur dan bisa bekerja sama dengan keinginan partai politik dan pengusaha oligarki, meskipun harus melanggar undang-undang dan konstitusi. Pengusaha oligarki tersebut berfungsi sebagai bandar, mendanai pemilu, pilpres maupun pilkada. Modal Bandar akan kembali dengan bonus berkali-kali lipat, melalui berbagai proyek APBN, “dilindungi” dengan UU.
7. Persekongkolan atau kartel ini semakin sempurna dengan menguasai yudikatif, khususnya Mahkamah Konstitusi, yang fungsinya kini berubah, dari yang seharusnya menegakkan konstitusi menjadi mengabadikan pelanggaran konstitusi, dengan membatalkan setiap upaya uji materi terhadap undang-undang yang terindikasi melanggar konstitusi.
8. Kekuasaan partai politik sangat besar dan kokoh. Presiden tidak bisa membubarkan atau membekukan partai politik. Yang hanya bisa membubarkan DPR adalah Mahkamah Konstitusi, yang notabene terdiri dari orang-orang pilihan mereka, untuk melindungi kepentingan mereka. Terbukti, belum lama ini ada hakim Konstitusi dicopot, karena tidak sependapat dengan salah satu UU usulan partai politik. Padahal hakim konstitusi tersebut sedang menjalankan tugasnya secara profesional: Terbukti, l’etat c’est moi, negara adalah saya. Atau I am the Law: saya adalah tiran.
9. Kekuasaan presiden juga sangat besar dan kokoh. Presiden tidak perlu bertanggung jawab kepada pihak manapun, atas semua janji kampanye maupun janji selama berkuasa. Misalnya, janji pemberian tax amnesty 2016/2017 akan meningkatkan pendapatan negara dan pertumbuhan ekonomi. Janji tersebut ternyata tidak terbukti. Walaupun demikian, tidak ada konsekuensi sama sekali terhadap jabatan presiden. Malah Jokowi terpilih kembali pada 2019.
Maka itu, (calon) presiden bisa dengan mudah mengumbar janji, yang bahkan tidak mungkin bisa terpenuhi. Tapi secara politik aman-aman saja.
Presiden juga tidak bisa diberhentikan oleh DPR/MPR, kecuali melalui Mahkamah Konstitusi, diajukan oleh DPR. Ketentuan ini tentu saja menjadi double protection bagi presiden. Karena DPR tidak akan mengajukan pemberhentian presiden, dan Mahkamah Konstitusi akan melindungi presiden.
Semua ini demi kepentingan partai politik dan kroninya (pengusaha oligarki), bukan untuk kepentingan rakyat dan negara.
10. Oleh karena itu, demokrasi saat ini hanya ada di atas kertas, karena sudah dimanipulasi oleh kekuasaan partai politik, yang sudah di luar batas. Partai politik sudah menjelma menjadi hukum dan konstitusi. Apa yang diinginkan dan dikatakan akan terjadi. Perpaduan I am the law: Saya adalah tiran dan l’etat, c’est moi: negara adalah saya. Otoritarian, Tirani.
12. Dengan kondisi sistem parpol yang mencengkeram seperti ini, presiden terpilih, siapapun itu, akan sangat sulit mengubah dan memperbaiki Indonesia, meskipun yang bersangkutan merupakan antitesa rezim saat ini. Karena, presiden dapat dimakzulkan oleh DPR, oleh kartel atau persekongkolan partai politik, melalui Mahkamah Konstitusi.
12. Hanya ada satu jalan untuk menyelamatkan bangsa dan negara ini. Presiden terpilih harus berani membuat yudikatif independen, sehingga dapat menegakkan konstitusi, dan membersihkan UU yang melanggar konstitusi. Presiden terpilih harus berani memacu Mahkamah Konstitusi agar berani memproses gugatan masyarakat terhadap partai politik yang melanggar konstitusi, untuk dibubarkan atau dibekukan.
Hanya dengan cara ini, bangsa dan negara dapat diselamatkan. Kalau tidak, Indonesia akan terus dalam cengkeraman: l’etat c’est moi.
[***]