KedaiPena.com – Menyikapi agenda Rapat Dengar Pendapat (RDP) KPU dengan Komisi II DPR guna membahas antara lain rancangan Peraturan KPU (PKPU) tentang pencalonan anggota DPR dan DPRD, Partai Buruh perlu mengingatkan KPU agar tidak tunduk pada apapun kehendak dari wakil-wakil parpol parlemen tersebut.
Ketua Tim Khusus Partai Buruh Said Salahudin menilai, RDP sebagai forum konsultasi antara KPU dan DPR boleh saja digelar. Tetapi harus diingat, tidak boleh ada pemaksaan kehendak dari Komisi II kepada KPU. Apapun masukan yang disampaikan DPR, KPU tidak wajib mengikuti apalagi terikat pada keinginan mereka.
“Ketentuan tersebut telah tegas dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-XIV/2016 dan ditegaskan kembali pada perkara yang dimohonkan Partai Buruh melalui Putusan Nomor 78/PUU-XX/2022,” ujar Said Salahudin, Rabu (12/4/2023).
Agar proses pembentukan PKPU menjadi lebih fair, selain mendengar masukan dari parpol parlemen melalui Komisi II, sudah semestinya KPU juga perlu mendengar masukan dari parpol nonparlemen.
Disampaikan Said Salahudin, pada tanggal 6 April 2023, bertempat di Kantor Partai Buruh, enam parpol nonparlemen sudah merumuskan sejumlah isu aturan pencalonan anggota DPR dan DPRD. Keenam parpol tersebut adalah Partai Buruh, Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora), Partai Ummat, dan Partai Kebangkitan Nasional (PKN).
Setidaknya ada beberapa persyaratan pencalonan yang oleh parpol-parpol nonparlemen dinilai terlalu kaku, tidak diperlukan, dan bahkan menyulitkan bagi bakal calon anggota legislatif atau bacaleg.
Pertama, soal syarat ijazah. Selain fotokopi ijazah yang dilegalisir, semestinya KPU juga dapat memberikan opsi lain berupa hasil scan atau pindai ijazah asli, misalnya. Dokumen itu justru lebih otentik. Kalau semata harus melegalisir ijazah, pasti diperlukan biaya operasional untuk mengurusnya dan hal itu memberatkan bagi bacaleg berkualitas yang ekonominya pas-pasan.
Kedua, soal syarat bukan terpidana. Semestinya, bacaleg yang diwajibkan mengurus surat keterangan tidak pernah dipidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih dari pengadilan negeri hanya ditujukan kepada bacaleg yang berstatus mantan terpidana saja. Sementara bacaleg yang tidak pernah dipidana, tidak perlu mengurus dokumen tersebut.
“Hal itu disebabkan sudah ada persyaratan lain bagi setiap bacaleg untuk membuat surat pernyataan yang salah satu isinya menyatakan bahwa bacaleg bersangkutan tidak pernah dipidana penjara. Surat pernyataan diatas meterei itu tentu sudah lebih dari cukup bagi bacaleg yang tidak pernah dipidana. Kenapa harus ‘double-double’? Ini sangat memberatkan,” ujarnya.
Ketiga, soal syarat kesehatan. Surat keterangan sehat jasmani, rohani, dan bebas narkoba, jika harus diurus di instansi berbeda, ini tentu juga memberatkan. KPU sebetulnya memiliki kemampuan untuk membangun kerja sama dengan Kementerian Kesehatan dan Badan Narkotika Nasional (BNN), misalnya, untuk membangun pelayanan satu atap guna kepentingan penerbitan dokumen tersebut di setiap daerah. Biaya pengurusan ketiga dokumen tersebut terbilang cukup mahal.
“Beberapa contoh masukan persyaratan bacaleg dari parpol-parpol nonparlemen tersebut perlu diperhatikan oleh KPU. Tidak adil kalau KPU hanya meminta masukan dari parpol parlemen saja. Dengan sempitnya waktu yang dimiliki parpol untuk memenuhi persyaratan pencalonan akibat kelambanan KPU dalam menerbitkan PKPU, maka sudah sewajarnya jika KPU lebih fleksibel dalam menetapkan dokumen persyaratan bacaleg,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa