Diperkirakan Jokowi pribadi masih ingin lanjut sebagai Presiden RI pada Pilpres 2019 mendatang, meski belum ada pernyataan resmi.
Adalah rasional sebagai manusia Indonesia sesuai kultur politik dimiliki Jokowi, tetap ingin lanjut sebagai Presiden RI. Tak masalah atau peduli saat berkuasa sebagai Presiden, terbukti tak mampu, dan gagal urus pemerintahan dan rakyat.
Berdasarkan kondisi peta kepartaian dan dukungan parpol terhadap cagub Ahok Pilkada DKI 2017, ada enam parpol pendukung Jokowi. Yakni, PDIP, Golkar, Nasdem, Hanura, PPP, dan PKB. Untuk PPP dan PKB, masih debatable.
Untuk PPP sangat tergantung suksesi ketua umum. Untuk PKB masih tanda tanya, bisa saja PKB meninggalkan Jokowi atas pertimbangan tidak dipenuhinya komitmen atau proses transaksional seharusnya.
Pilpres 2019 diselenggarakan bersamaan dengan Pileg (Pemilu Legislatif). Hal ini baru pertama sekali terjadi sepanjang sejarah politik Indonesia. Menurut para pakar hukum tata negara, memang sesuai konstitusi seharusnya demikian.
Karena itu, perhatian parpol pendukung menjadi bercabang. Di satu pihak berjuang memenangkan kader-kader parpol bersangkutan, agar berhasil menduduki kursi di legeslatif dari tingkat DPRD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Di pihak lain, parpol harus bertanggung jawab membantu capres yang didukung untuk memperoleh suara pemilih semaksimal mungkin.
Namun, bagaimana pun energi parpol akan lebih besar digunakan untuk kemenangan Pileg, bukan Pilpres.
Parpol-parpol pendukung Jokowi sangat mungkin gagal mempengaruhi massa pemilih mereka untuk mendukung Jokowi. Salah satu sebabnya, yakni mesin parpol takkan bekerja efektif dan mendulang suara pemilih maksimal untuk Jokowi.
Asumsi ini berangkat dari pengalaman dukungan parpol terhadap cagub Ahok Pilgub DKI Jakarta. Cagub Ahok ini dapat dukungan dari Jokowi. Ahok dan Jokowi satu kesatuan dalam pengelompokan kekuatan politik di DKI di bawah pengaruh PDIP.
Pada pemungutan suara putaran pertama Pilgub DKI, Paslon Ahok-Djarot didukung PDIP, Golkar, Hanura, dan Nasdem. PDIP pada Pileg lalu, terbilang parpol pemenang baik nasional maupun DKI Jakarta.
Golkar juga terbilang parpol besar untuk ukuran konstituen dan juga punya pengalaman lebih banyak ketimbang semua parpol lain. Hanura dan Nasdem bolehlah dinilai sebagai parpol menengah.
Berapa jumlah konstituen empat parpol pendukung cagub Ahok ini?
Berdasarkan hasil perolehan suara pemilih di DKI Jakarta, masing-masing parpol dimaksud sebagai berikut; PDIP 1.231.843 suara, Golkar 376.221 suara, Hanura 357.006 suara, dan Nasdem 206.117 suara. Totalnya 2.171.187 suara.
Hasil perolehan suara paslon Ahok-Djarot putaran pertama 2.364.577 suara atau 42,99 persen. Jika dibandingkan suara parpol 2.171.187 suara dengan perolehan suara Ahok-Djarot Pilgub DKI 2017 sebanyak 2.364.577 suara, maka selisihnya hanya sekitar 200 ribu suara.
Dapat disimpulkan bahwa mesin parpol tidak efektif. Suara Ahok-Djarot tidak berbeda secara berarti dengan jumlah konstituen parpol pendukung.
Jika dikurangi sekitar 15 persen suara berdasarkan primordial agama Ahok, kontribusi parpol terhadap perolehan suara paslon Ahok-Djarot, tentu semakin tak bermakna. Bisa jadi jumlah pemilih Ahok dari segmen konstituen parpol lebih sedikit. Sebagian memilih paslon bukan Ahok-Djarot.
Sebaliknya, paslon Anies-Sandi hanya didukung dua parpol, yakni Gerindra dan PKS. Total konstituen kedua parpol ini 582.568 suara Gerindra dan 424.400 suara PKS. Total 1.006 .968 suara.
Faktanya, Anies-Sandi meraih sekitar 2.197.330 suara putaran pertama. Jumlah ini jauh melewati jumlah konstituen parpol pendukung 1.006 .968 suara. Ada melebihi sejuta suara. Fantastis!
Pada putaran kedua, paslon Ahok-Djarot resmi mendapat tambahan dukungan dua parpol Islam, yakni PPP dan PKB. Maka, total pendukung Ahok-Djarot menjadi enam parpol. Total konstituen parpol pendukung ini menjadi 1.719.341 konstituen.
Sedangkan suara pemilih Ahok-Djarot putaran kedua hanya 2.350.366 suara atau 42,04 persen suara. Selisihnya sekitar hanya 600 ribu suara. Padahal, jumlah parpol pendukung sebanyak 6 parpol.
Dari sisi persentase, kayaknya tidak ada perbedaan berarti antara putaran pertama dan kedua sekalipun telah mendapatkan tambahan dua parpol pendukung. Bahkan, berkurang 0,94 persen.
Di lain pihak, dukungan parpol terhadap Anies-Sandi bertambah satu, PAN. Total konstituen parpol pendukung Anies-Sandi menjadi 1.015.053 konstituen.
Perolehan suara Anies-Sandi putaran kedua suara atau 57,96 persen. Jumlah suara Anies-Sandi sangat jauh melewati jumlah konstituen parpol pendukung, yakni 3.240.987 suara. Ini melebihi dua juta suara kesenjangan antara konstituen parpol dan suara pemilih Anies-Sandi. Sangat…sangat fantastis!
Gambaran prilaku pemilih berdasarkan kasus Pilgub DKI 2017, dapat disimpulkan bahwa PDIP, Golkar, Hanura, Nasdem, PPP, dan PKB tak mampu dan gagal memaksimalkan jumlah konstituen untuk memberi suara pada Ahok-Djarot yang mereka dukung. Mesin parpol pendukung Ahok-Djarot tak bekerja efektif.
Sebaliknya, Gerindra, PKS, dan PAN mampu memaksimalkan dan mesin parpol bekerja efektif.
Jika Jokowi Pilpres 2019 mendatang didukung parpol-parpol pendukung Ahok-Djarot, sangat mungkin mesin parpol takkan bekerja efektif. Hal ini diperkuat lagi konsentrasi atau fokus perhatian parpol-parpol bersangkutan lebih pada Pileg ketimbang Pilpres 2019 mendatang.
Sementara itu, Jokowi hanya bisa terbantu jika mampu membangun hubungan kerja sama dengan jaringan dan lembaga masyarakat madani nonparpol. Tetapi, hal ini hanya mungkin jika Jokowi dapat membuktikan prestasi kerja selama ini, terutama janji-janji kampanye yang cukup banyak (lebih 60 butir) saat Pilpres 2014 lalu.
Di mata publik kini, Jokowi belum mampu dan berhasil penuhi janji-janji kampanye dimaksud.
Oleh Muchtar Effendi Harahap, Peneliti Network for South East Asian Studies (NSEAS)