Artikel ini ditulis oleh Abdul Rohman Sukardi, Pemerhati Sosial dan Kebangsaan.
Religiusitas dan Nasionalisme. Bisa diduga sebagai dua faktor tegak eksisnya partai-partai di Indonesia, pada masa mendatang. Keduanya bisa kita gunakan untuk memproyeksikan partai-partai apa saja yang akan tumbuh besar dan eksis.
Kategorisasi Antropologis oleh Clifford Geertz terhadap masyarakat Jawa sudah banyak bergeser. Abangan-Santri-Priyayi. Etnis Jawa itu 40,22 persen dari total penduduk Indonesia. Setara 95 juta jiwa. Priyayi dan Abangan sudah semakin santri di Jawa. Pendidikan menggeser kategorisasi Geertz itu. Kurikulum campuran: sains dan agama, menjadi trend. Lahirlah generasi masyarakat semakin santri.
Perilaku politik juga semakin bergeser. Jika politik dimaknai sebagai strategi memperjuangkan idealisme, maka semakin diperlukan alasan spiritual. Kenapa orang mendukung sebuah parpol. Partai yang bisa mewadai aspek spiritual itu, akan semakin memperoleh banyak dukungan. Selain aspek nasionalisme. Tetap menjadi magnet orang dalam memilih partai.
Sementara itu, pragmatisme politik, tetap memiliki batasan. Uang bukan menjadi instrumen utama kristalisasi elektoral. Kekuatannya bukan “tidak tak terbatas”.
Melalui kecendurangan itu, kita bisa memproyeksikan PKB dan Golkar. Akan saling bergantian untuk menjadi kandidat posisi pertama dan kedua. Disusul PDIP, PKS, PAN pada urutan ketiga, empat dan lima bergantian secara random.
Selebihnya merupakan partai temporer. Akan bisa membesar ketika memiliki ketokohan kuat melebih the big five itu. Atau menjadi partai medioker yang sifatnya temporer. Ketika ketokohan kuat memasuki masa surut, tanpa pengganti sepadan, akan berpotensi lebih cepat pudar partai temporer ini.
Kenapa the big five itu bertahan? Kita telaah satu persatu.
PKB diuntungkan dua hal. Pertama, ia bersisiran erat dengan basis massa NU. Sebuah ormas keagamaan bercorak inklusif, rahmatan lil áalamiin. Konsistensi terhadap khasanah keilmuan ke-Islaman klasik dengan jalan moderatnya, diminati banyak orang sebagai pilihan sikap keagamaan. Dinilai otoritatif. Kedua, nasionalisme NU bertaut erat dengan nasionalisme ke-Indonesiaan. Baginya NKRI dan Pancasila merupakan bentuk final. Menjadikan PKB -sampan politik NU- sebagai partai ideal jika diukur dari pemenuhan kebutuhan spiritualitas dan nasionalisme.
Bagaimana dengan Golkar?. Ia dikenal sebagai partai pragmatis. Daya cengkeram terhadap kekuasaan merupakan kelihaian utamanya. Memiliki infrastruktur mapan dan pengalaman sejarah panjang. Idiologinya menginduk pada idiologi negara. Pancasila.
Walaupun dikenal pragmatis, Golkar tidak tampak mengembangkan jalan pikiran lain selain implementasi idiologi negara. Sebagai idiologi peradaban bangsa ber-Tuhan. Golkar mampu memenuhi kebutuhan kesadaran nasionalisme dan tuntutan spiritualitas itu. Ditambah kekuatan SDM politiknya yang dikenal tangguh.
Pada lapis kedua ada PDIP-PKS-PAN. PDIP sebenarnya mirip dengan Golkar. Partai nasionalis dengan ketundukan pada Idiolagi negara. Bedanya PDIP menarik diri pada tafsir idiologi negara secara spesifik pada garis Idiologi Soekarno pada fase Indonesia embrional. PDIP menjadi tidak kosmopolit secara idiologi. Ditambah aliansi taktisnya dengan kaum kiri. Menjadikan PDIP bersifat segmented.
PKS memiliki idiologi religius ekslusif. Berbeda dengan komunitas keagaman mayoritas Indonesia. Faktor terakhir ini menjadi penghalang PKS tumbuh mayoritas sebagaimana Ikhwanul Muslimin di Mesir. Idiologinya bercorak transnasional. Ketulususannya bersinergi dengan nasionalisme Indonesia selalu dipertanyakan. Bahkan diragukan.
PAN, ia mirip PKB. Berbasis elektoral warga Muhammadiyah. Eksistensinya banyak dibatasi segmentasi keanggotaan Muhammadiyah. Ia terkerangkai basis elektoral tradisionalnya untuk menjadi partai kosmopolit.
Berbeda dengan Golkar-PDIP-PKS-PAN. PKB tidak akan secara given bisa bertengger pada posisi puncak. Big two. Posisi itu berpotesi dicapai jika memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Pertama, manajemen modern di tubuh NU. Akan berdampak meningkatnya ketrampilan warga NU -yang jumlahnya besar itu- dalam merumuskan agenda masa depan bersamanya. Termasuk dalam berpolitik. Ibarat team sepak bola, selama ini NU seperti team nasional Brazil. Bertumpu pada kemahiran personal. Bukan kekuatan kolektivisme, sebagaimana timnas Jerman. Modernisasi NU akan menghidupkan semua lini potensinya untuk bergerak. Termasuk dalam mengoptimalkan sampan-sampan politiknya. Tidak terkecuali PKB.
Kedua, memiliki akademi politik yang bagus. Akan menjadikan PKB memiliki sumberdaya politik yang kompeten dan tangguh di semua tingkatan. Baik dalam isu kebijakan dan pemerintahan. Maupun strategi pemenangan elektoral.
Ketiga, menjadi partai terbuka bagi segenap warga nahdiyin. Tidak terjebak politik dinasti sempit. PKB harus bisa menjadikan saluran seluruh warga Nahdhiyin yang potensi politiknya belum terwadai parpol lainnya.
Keempat, rotasi kepemimpinan yang lancar dan merith. Memungkinkan semua warga PKB memiliki kesempatan terbuka dalam mengasah ketrampilan politik. Baik internal maupun dalam menghadapi kompetisi eksternal.
Kelima, mampu membangun harmoni dengan semua elemen ke-NU-an pada semua tingkatan. Terlepas NU harus merawat semua keanggotaan yang terdistribusi pada beragam pilihan politik. PKB masih menjadi yang paling mungkin dalam menghimpun bassis massa NU sebagai kekuatan elektoralnya.
Benarkah asumsi itu?. The big five akan bertahan. Seberapa jauh partai-partai temporer atau berbasis ketokohan akan bertahan. Bahkan menyeruak dan menandingi the big five?
Sejarah yang akan membuktikannya kelak. Kita hanya bisa memproyeksikan. Bahkan mempersiapkan untuk mewujudkan proyeksi-proyeksi itu.
[***]