KedaiPena.Com – Insiden yang terjadi antara kader Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Manado dengan Aparat Keamanan di gedung DPRD Kota Manado dinilai sebagai gejala gejala kemunduran Demokrasi di Indonesia.
“Ini adalah gejala-gejala kemunduran dalam berdemokrasi di Indonesia, insiden itu sangat kita sesalkan. Dan sangat disayangkan adanya 7 korban yang mengalami luka parah dari pihak mahasiswa yang merupakan kader militan itu ,†ujar Ketua Parkindo Medan, Ruben Panggabean dalam keterangan pers, Jumat (3/6).
Menurut Ruben, menyampaikan pendapat di muka umum melalui kegiatan kampanye atau aksi demostrasi merupakan salah satu bentuk hak yang terkandungan dalam hak asasi manusia yakni civil Right (hak sipil).
Aktivitas menyampaikan pendapat di muka umum di Indonesia dilindungi secara hukum, dalam konstitusi pasal 28E UUD 1945 dan Undang-Undang No 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di muka umum.
Ditambahkan Ruben, dalam payung hukum UU 9 tahun 1998 diatur tentang peran Polri yakni bertanggungjawab dalam pengamanan untuk menjamin kemanan dan ketertiban umum sesuai prosedur yang berlaku. Prosedur dimaksud kemudian tertuang dalam Peraturan Kapolri No 9 Tahun 2008 Tata Cara Penyelenggaraan, Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum.
“Pasal 13 Perkap jelas bahwa Polri wajib dan bertanggungjawab untuk melindungi hak asasi manusia,menghargai asas legalitas,menghargai prinsip praduga tidak bersalah; dan menyelenggarakan pengamanan,†jelasnya.
Sehingga insiden di Manado merupakan cerminan bagi anggota Polri belum menjadikan Perkapolri sebagai pedoman atau SOP di lapangan.”Perilaku main hakim sendiri sudah berada di luar ketentuan kewajiban dan tanggungjawab Polri,†sebut bekas Ketua GMKI Medan itu.
Calon Sekretaris Umum GMKI Medan itu menuturkan, seandainya pun pada saat aksi kemarin ada kemungkinan terjadinya mengganggu ketertiban umum. Aparat dalam ketentuan pasal 24 Peraturan Kapolri dalam melakukan upaya paksa wajib menghindari tindakan kontra produktif.
“Tindakan kontraproduktif itu berupa tindakan aparat yang spontanitas dan emosional, misalnya mengejar pelaku, membalas melempar pelaku, menangkap dengan kasar dengan menganiaya atau memukul, keluar dari ikatan satuan/formasi dan melakukan pengejaran massa secara perorangan, tidak patuh dan taat kepada perintah kepala satuan lapangan yang bertanggung jawab sesuai tingkatannya, tindakan aparat yang melampaui kewenangannya,  tindakan aparat yang melakukan kekerasan, penganiayaan, pelecehan, melanggar HAM, melakukan perbuatan lainnya yang melanggar peraturan perundang-undangan,†urai Ruben.
Untuk itu, Ruben meminta Divisi Propam Polri dan Polda Sulut segera bekerja guna melakukan pemeriksaan internal. Agar Kapolri dapat mengambil tindakan yang bertujuan meningkatkan profesionalisme institusi pengayom masyarakat itu.
“Semua yang terlibat harus diberi sanksi agar wibawa hukum dan demokrasi kita dipulihkan,†tukasnya.
Diketahui, aksi damai kader Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Manado, Rabu (1/6) untuk memperingati hari lahir Pancasila berujung kericuhan dengan aparat kepolisian. Aksi massa itu dibubar paksa dengan kekerasan dan penganiayaan saat berada di ruang Paripurna DPRD Kota Manado.
Ironisnya dugaan penganiayaan itu bukan hanya dilakukan oleh pihak kepolisian tetapi anehnya dilakukan juga oleh polisi pamong praja dan staff kantor DPRD Manado. Hampir seluruh personil massa GMKI kena pukul, diinjak, dan diseret keluar dari ruang paripurna.
Bahkan sampai di luar kantor DPRD pun pihak kepolisian dan polisi pamongpraja terus mengejar dan memukul massa GMKI sampai mengakibatkan sejumlah personil massa GMKI mengalami luka pendarahan dan diduga mengalami patah tulang hidung. 5 orang harus dirawat di Rumah Sakit dan satu orang harus dirujuk ke Instalasi Gawat Darurat RSUP Prof. R.D Kandou Malalayang.
(Dom)