KedaiPena.Com – Dalam postur RAPBN, dapat terlihat defisit APBN Indonesia yang terus berlanjut dari tahun ke tahun dan bahkan terus meningkat. Defisit anggaran RAPBN 2025 yang direncanakan Rp616,2 triliun.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, defisit ini sangat besar dan mau tidak mau harus ditambal dengan utang.
Selama 10 tahun masa pemerintahan Jokowi ini kebijakan utang memang ugal-ugalan sehingga warisannya akan terbawa pada masa pemerintahan Prabowo.
Demikian dikatakan Prof. Didik J Rachbini, Ph.D, Guru Besar Universitas Paramadina dalam keterangannya, dilansir Kedai Pena, Senin (19/8/2024).
“Dengan janji politik yang banyak sekali, maka sulit bagi pemerintahan yang akan datang bisa mengurangi ketergantungan pada utang dengan mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor-sektor yang ada. Sehingga laju penerbitan surat utang negara akan terus meningkat dan merusak iklim makro karena suku bunga akan didorong naik terus,” kata ekonom senior Indef ini.
Sampai pertengahan tahun 2024 ini, telah ditawarkan setidaknya hampir seribu triliun rupiah SBN tetapi laku di pasar hanya separuhnya sekitar Rp517 triliun. Sebelumnya tahun 2023, SBN yang ditawarkan di pasar mencapai Rp1800 triliun, tetapi laku di pasar sebesar Rp807 triliun.
“Jadi, selama 10 tahun ini pemerintah Jokowi sudah mendorong ekonomi utang masuk jurang sehingga harus gali lubang tutup lubang,” sambung Rektor Universitas Paramadina ini.
Pemerintahan SBY mewariskan utang sekitar Rp2608 triliun. Sepuluh tahun berikutnya jumlah utang mencapai Rp8338 triliun, naik tiga kali lipat dengan pembayaran bunga yang sangat tinggi sebesar Rp497 triliun.
Beban bunga utang ini jauh lebih besar dari pos anggaran kementerian, sektor maupun propinsi mana pun. Jika dibandingkan misalnya dengan APBD propinsi, pembayaran utang ini 1600 persen lebih tinggi total APBD rakyat Jawa Barat.
“Sekarang daya beli masyarakat turun. Target pertumbuhan ekonomi 5 persen sebenarnya tidak cukup untuk memulihkan daya beli tersebut. Jadi harus ada upaya reformasi struktural agar tingkat pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dari, yang ditargetkan 5,2 persen pada tahun 2025. Ini diperlukan agar ada ruang lebih untuk mendukung peningkatan penerimaan pajak,” sambungnya.
Baca juga: Target Tinggi Pajak di Tengah Daya Beli Masyarakat yang Menurun
Namun, jika daya beli masyarakat melemah atau terjadi tekanan inflasi yang tinggi, maka kemampuan masyarakat untuk membayar pajak bisa terpengaruh. Pemerintah sekasrang akan berjibaku menjaga keseimbangan antara pengumpulan pajak dan tidak memberatkan ekonomi masyarakat.
Dalam hal penerimaan pajak dan menjaga momentum ekonomi yang baik, faktor internal kementrian keuangan dan direktorat jenderal pajak ke dapan akan sangat menentukan.
Kemampuan Kementerian Keuangan dan sekaligus siapa menterinya akan menjadi faktor kritis. Reformasi perpajakan mutlak perlu terus dilanjutkan, termasuk digitalisasi dan perluasan basis pajak. Sektor apa saja yang harus digali, tidak bisa tidak adalah sektor industri (non-migas), termasuk jasa, sebagai tiang utama.
“Tetapi sektor ini melorot dan tumbuh rendah serta mengalami stagnasi bertahun-tahun karena tidak ada sentuhan kebijakan. Jika pertumbuhan sektor ini bisa tumbuh 8-10 persen, maka pengumpulan pajak akan mendapat ruang yang leluasa,” Didik menambahkan.
Sektor baru yang harus digali tidak lain adalah ekonomi digital dan ekonomi kreatif, termasuk sektor terlantar yakni pariwisata. Dengan berkembangnya e-commerce, fintech, dan layanan berbasis digital, sektor ini merupakan peluang besar untuk menambah penerimaan pajak melalui pengenaan pajak pada platform digital dan transaksi daring.
Laporan: Muhammad Rafik