KedaiPena.Com – Akhir-akhir ini nama Presiden kedua Republik Indonesia yakni Soeharto menjadi perhatian khalayak masyarakat. Pria yang dikenal sebagai bapak pembangunan Indonesia ini mendadak viral setelah pernyataan politisi PDIP yang juga Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah.
Semua dimulai saat Ahmad Basarah menanggapi pernyataan calon presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto yang menyatakan, korupsi di Indonesia seperti kanker stadium empat.
Membalas pernyataan mantan Danjen Kopassus tersebut, Basarah menyebut bahwa akar masalah maraknya korupsi Indonesia dimulai sejak era Presiden Soeharto.
Hal tersebut yang membuat Basarah menyebut, mantan mertua Prabowo Subianto tersebut sebagai guru dari korupsi di Indonesia.
Pernyataan Basarah tersebut maksud hati ditujukan agar Prabowo tidak menyinggung permasalahan korupsi sebab seperti memercik air ke muka sendiri. Hal tersebut lantaran Prabowo merupakan bagian dari kekuasaan Orde Baru.
Partai Berkarya pimpinan Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto) sedianya mengaku geram dengan pernyataan yang dilontarkan oleh Ahmad Basarah.
Berkarya sendiri merupakan partai yang akan bertarung pada pemilihan legislatif 2019 nanti. Dalam perjalanannya, Berkarya memang mengusung semangat Soeharto dalam setiap kampanye calegnya
Ketua DPP Partai Berkarya Badarudin Andi Picunang mengaku tidak setuju dengan pendapat yang dilontarkan oleh Ahmad Basarah.
Hal tersebut, kata Badar begitu ia disapa lantaran praktik korupsi tidak hanya terjadi di era Soeharto. Korupsi sudah ada semenjak zaman penjajahan Belanda di bumi nusantara.
Oleh sebab itu, tidak pantas apabila julukan bapak atau guru korupsi disematkan pada Soeharto secara personal.
Menelisik lebih jauh pernyataan dari Ahmad Basarah, apakah memang pantas jika Soeharto disebut sebagai guru korupsi Indonesia?
Mengacu sejumlah data yang ada korupsi di Indonesia sendiri, korupsi sedianya sudah mulai hadir pada saaat zaman kolonial bahkan jejaknya ternyata dapat ditemukan jauh di belakang sejarah Indonesia.
Zaman Presiden Soeharto bukanlah rezim pertama yang mempraktikan korupsi secara terang benderang. Versi paling populer korupsi Indonesia sendiri hadir pada jaman VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) atau Kompeni Dagang Hindia Belanda yang mengajari masyarakat untuk korupsi di segala bidang.
Kala itu bahkan, ada ejekan yang menyebut VOC, perusahaan multinasional yang bangkrut pada peralihan abad ke-18 ke abad ke-19 ini, sebagai Vergaan Onder Corruptie (hancur karena korupsi).
Jejak korupsi di Tanah Air juga dapat dilihat pada zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara. Saat itu, jumlah pajak desa yang harus dibayar sudah digelembungkan para pejabat lokal yang memungut pajak dari rakyat yang masih buta huruf.
Kelompok petugas pajak yang disebut Mangilala Drwya Haji ini disebut dalam prasasti awal abad ke-9 pada tahun 741 Caka atau 819 Masehi dalam buku Peradaban Jawa karya Supratikno Raharjo.
Sejarawan Onghokham dalam buku Dari Soal Priyayi Sampai Nyi Blorong juga menyoal petani yang sering menjadi sasaran penyelewengan para Mangilala Drwya Haji.
Praktik korupsi besar-besaran juga terjadi pada masa tanam paksa. Saat itu disebutkan, petani hanya bisa mendapat 20 persen hasil panennya dan diduga juga hanya 20 persen yang dibawa ke Negeri Induk (Kerajaan Belanda). Selebihnya 60 persen hasil bumi Nusantara diambil pejabat lokal dari desa hingga kabupaten.
Eks Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Haryono Umar mengakui bahwa korupsi memang sudah ada sejak lama dari zaman Belanda.
Haryono yang merupakan Direktur Lembaga Anti Fraud (Latifa) Perbanas ini juga menambahkan bahwa Indonesia sedianya sudah memiliki delapan lembaga anti korupsi.
“Namun yang efektif baru sejak ada KPK,” ujar Haryono saat dihubungi oleh KedaiPena.Com, Senin (3/11/2018).
Haryono membandingkan maraknya korupsi saat ini sama dengan sama Soeharto. Menurut Haryono saat ini, sama saja dengan zaman Orde Baru dahulu.
“Bedanya dulu belum ada KPK dan sekarang lebih tersebar,” papar Haryono.
Haryono menekankan bahwa sekarang korupsi baik dari kota sampai dengan desa serta menjalar dari yang besar hingga kecil.
“Semua itu karena reformasi, sehingga bebas, maka bebas yang baik juga yang gak baik termasuk korupsi,” pungkas Haryono.
Laporan: Muhammad Hafidh