TRADISI mudik lebaran yang telah lama berlangsung di negeri kita, terus saja meneguhkan eksistensinya di mata dunia sebagai fenomena perjalanan ulang-alik umat manusia paling kolosal sekolong jagad.
Berpuluh-puluh juta, bahkan mungkin ratusan juta manusia, saking banyaknya tak ada pihak yang sempat menghitung jumlah pastinya, bergerak dari beragam titik keberangkatan ke beragam titik tujuan, dalam sebuah variasi jarak dan waktu perjalanan yang berbeda-beda, dari yang terjauh hingga yang terdekat. Dan bukannya tanpa risiko sama sekali.
Dari tahun ke tahun banyak perjalanan mudik diwarnai peristiwa-peristiwa tragis yang memakan korban harta, bahkan jiwa. Dari yang tragis hingga yang tak begitu tragis, cuma luka-luka ringan maupun berat.
Belum lagi, misalnya, serangan kelelahan berat dan kebosanan yang menyebalkan, karena kerap menghadapi kenyataan harus merangkak seperti keong di atas panjangnya jalan beraspal, lantaran kendaraan yang ditumpangi terjebak kemacetan mengular nan parah.
Sebelum perjalanan dimulai pun, banyak pemudik yang kerap menghadapi betapa kepala mereka serasa diketok martil begitu tahu tarif moda transportasi yang akan dibeli meroket tajam ditengah bekal yang mungkin terbatas.
Namun tantangan dan hambatan apapun yang menghadang para pemudik, rasa-rasanya tak akan dapat membuat mereka jera. Setiap kali jelang lebaran, komitmen mereka untuk berangkat mudik tak pernah sirna. Pada titik inilah ketika niat mudik dipancangkan, maka komitmen dan militansi para pemudik untuk sampai ke kampung halaman, sulit dipadamkan. Risiko apapun, dan dengan cara apapun, mudik harus tetap dilakukan.
Beragam Dimensi Mudik
Banyak hal yang mendasari alasan seseorang untuk mudik lebaran. Seperti halnya banyak pula dimensi yang mengiringi peristiwa mudik itu sendiri.
Sejauh ini tradisi mudik bukan sekedar fenomena berdimensi religi-spiritual semata. Mudik pun berdimensi sosial, kultural dan ekonomi.
Dengan begitu, mudik lebih dari sekedar mengafdolkan mementum idul fitri lewat prosesi saling meminta maaf pada orangtua, keluarga dan para handai taulan di kampung halaman.
Dan mudik bukan cuma merefleksikan kerinduan para pemudik pada segala hal terkait tanah kelahirannya, pada memori-memori hidup di masa lalu, yang telah menjadi struktur pengalaman personal para pemudik, yang akan terasa hambar jika tak dinapaktilasi melalui mudik.
Jika pun memang ada, seharusnya mudik bukanlah momentum untuk memamerkan capaian-capaian individual terkait status sosial-ekonomi tertentu yang telah berhasil diraih pemudik di tanah rantau.
Justru yang lebih maslahat adalah menyatukan misi, kekuatan dan kekompakan para pemudik dari daerah asal yang sama, untuk bersama-sama turut memastikan dan menopang progresivitas proses transformasi sosial-ekonomi di kampung halaman ke arah yang lebih berkualitas.
Namun di luar dimensi-dimensi yang sekilas di singgung itu, boleh jadi, mudik pun merupakan wujud kerinduan batin setiap pemudik terhadap samacam, katakanlah “kembaran jiwa” yang lama tak disambangi, yang cenderung terlupakan dalam kenangan, lantaran telah lama dipisahkan sepanjang usia dari pemudik itu sendiri.
Kembaran jiwa itu adalah ari-ari (tali pusat) dari setiap pemudik itu sendiri.
Namun perlu tegaskan di sini, amatlah keliru jika menganggap ari-ari sebagai limbah biologis dari proses persalinan. Penelitian-penelitian mutakhir bidang kedokteran menyebutkan, bahwa darah yang mengalir di dalam ari-ari sesungguhnya merupakan sumber terbaik stem cell (sel punca) yang amat berguna untuk pengobatan medis atas beragam jenis penyakit, termasuk penyakit degeneratif.
Teknologi stem cell diyakini oleh dunia kedokteran akan menambah bobot kualitas kehidupan dan kesehatan manusia di dunia dengan lebih baik. Stem cell sendiri merupakan sebentuk sel hidup yang ada di dalam tubuh dan menjadi awal mula bagi terbentuknya 200 jenis sel penyusun tubuh.
Sebagai kembaran jiwa para pemudik, ari-arinya telah lama dicampakkan. Dan dikubur pada tanah depan rumah di kampung halaman. Hal itu berlangsung saat para pemudik baru saja dilahirkan ke dunia dari rahim ibunya.
Ari-ari pemudik itu sesungguhnya pernah menyatu dan menjadi bagian vital dari jiwa-raga pemudik saat masih berupa jabang bayi di perut ibunya. Lalu akhirnya dipisahkan saat bayi itu dilahirkan.
Kemudian oleh orangtua pemudik, ari-ari itu dimasukkan ke dalam kendi atau cepuk dari tanah, lalu dikuburkan pada malam hari di depan rumah orangtua, atau di tanah pekarangan keluarga.
Lampu-lampu minyak yang dipasang saban malam selama beberapa waktu setelah ari-ari dikuburkan, laksana mewakili protes dan rontaan ari-ari yang tak sudi dipisahkan sendirian dalam kesepian dari jiwa-raga si bayi.
Sebab sejak awal antara jiwa-raga si bayi dengan ari-arinya itu laksana “soulmate”, yang solid menopang proses tumbuh-kembang janin di dalam rahim ibunya.
Lalu dalam perkembangannya, jutaan ari-ari yang tertanam di depan rumah dan di tanah-tanah pekarangan tempat asal para pemudik, seakan serempak memangil-manggil, dengan panggilan berdaya magis tinggi, agar para pemudik segera kembali pulang dari perantauan ke kampung halaman saat lebaran.
Dan berbondong-bondongnya para pemudik menuju kampung halaman saat jelang lebaran, sepertinya juga merupakan jawaban tunai para pemudik atas panggilan magis dan serentak dari jutaan ari-ari yang telah terkubur di kampung-kampung halaman yang dilanda rindu hebat pada jiwa-raga yang pernah bersatu dengannya.
Selamat bermudik lebaran, wahai para pemilik kampung halaman. (***)
Oleh Nanang Djamaudin, Direktur Eksekutif Jaringan Anak Nusantara (JARANAN) dan penggiat KIAT 98.