KedaiPena.com – Berbagai masalah yang menggelayuti sistem pangan Indonesia, membuat harga pangan cenderung tinggi di Indonesia. Dinyatakan, paling tidak ada dua masalah besar, yaitu produksi dan distribusi.
“Sistem pangan Indonesia masih dihadapkan pada berbagai masalah, seperti tingginya ongkos produksi, belum efisiennya proses produksi dan panjangnya rantai distribusi, dan kesemuanya berdampak pada harga,” kata Head of Agriculture Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Aditya Alta, dalam keterangan tertulis, Jumat (19/8/2022).
Salah satunya, yang dinyatakan sulit untuk dicapai adalah swasembada beras. Karena biaya produksi Beras Indonesia jauh lebih tinggi, dibandingkan negara-negara sekitar.
Laporan International Rice Research Institute (IRRI) pada 2016 menyebutkan rata-rata biaya produksi per satu kilogram beras di dalam negeri mencapai Rp4.076. Sedangkan biaya produksi di Vietnam mencapai Rp1.679 per kg, di Thailand mencapai Rp2.291 per kg, dan di India sebesar Rp2.306 per kg.
Tak hanya karena masalah biaya produksi, Alta mengatakan banyak faktor pada sektor pertanian Indonesia yang tidak mendukung target itu. Di sisi itu, petani di dalam negeri juga mendapatkan banyak kesulitan mulai dari masalah benih hingga lahan.
“Petani di Indonesia juga menemui beberapa kesulitan mulai dari benih, pupuk, akses permodalan, lahan kecil yang berimbas pada proses bercocok tanam yang tidak efisien dan juga kapasitas petani yang juga sebagian besar masih belum produktif,” ucapnya.
Ia menyebutkan ongkos produksi beras di Indonesia juga 1,5 lebih mahal dibandingkan di Filipina yang sebesar Rp3.224 per kg dan China Rp3.661 per kg.
Tingginya ongkos produksi, lanjutnya, menyebabkan harga beras nasional menjadi tinggi. Belum lagi ditambah dengan kondisi geografis Indonesia yang menyebabkan adanya biaya pengangkutan yang relatif mahal.
“Selain itu, mahalnya produksi beras disebabkan oleh mekanisme produksi dan sistem distribusi yang kurang efisien di Indonesia. Seharusnya, tingginya ongkos produksi dapat diatasi melalui investasi pertanian yang berkelanjutan, yang dapat mendorong modernisasi dan transfer teknologi,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa