Artikel ini ditulis oleh Pengamat Ekonomi Salamuddin Daeng
MASIH ingat tax amnesty jilid 1, ini menargetkan penarikan uang hingga Rp10 ribu triliun, diumumkan secara resmi, dan dengan gagah berani pemerintah lewat siaran siaran resmi akan menjadikan ini sebagai alat pencuci uang terbesar. Belum pernah ada negara di dunia yang mencuci uang sebanyak itu melalui amnesty pajak.
Tapi apa yang terjadi? Dunia langsung memgumumkan Panama Papers, skandal penggelapan pajak di dunia yang melibatkan juga pengusaha Indonesia didalamnya.
Dunia mengatakan uang semacam itu merupakan harta ilegal yang dikategorikan sebagai bentuk kejahatan keuangan dan bukan lagi semgketa perdata pajak.
Proyek inipun gagal mencapai target. Jangankan Rp10 ribu triliun uang dari luar, malah sebaliknya pemerintah kehilangan piutang pajak di dalam negeri.
Pemerintah telah menghapus piutangnya kepada bandit-bandit di dalam negeri yang selama ini tidak bayar pajak dalam jumlah besar. Hanya dengan bayar denda 2,5 persen utang para pengemplang pajak langsung lunas.
Tapi pemerintah ini tak menyerah, mereka terus memburu uang uang semacam itu dan tampak hendak menjadikan negara ini sebagai tukang tadah uang kotor.
Sebuah rujukan sepertinya digunakan yakni artikel Sri Mulyani di media yang mengupas sindikat internasional yang menulis artikel berjuduk Dirty Money and Development, tentang bagaimana menadah uang kotor menjadi sumber dana pembangunan. Berani sekali SMI.
Maka dikejarlah uang semacam itu kembali melalui soft bank, rencana akan digunakan untuk membiayai ibukota baru. Anggarannya ribuan triliun.
Namun apa yang terjadi, penasehat ekonomi Pemerintahan Jokowi, Jack Ma, yang merupakan salah satu pemegang saham soft bank, malah ditangkap oleh pemerintah Tiongok, perkaranya adalah upaya Jack Ma mengobrak-abrik Bank Sentral Tiongkok.
Dana soft bank yang diharapkan untuk membangun ibukota baru, amalah direspon global dengan memburu bandar bandar uang semacam itu. Uang yang tidak jelas asal usulnya hendak dicuci dalam mega proyek di Indonesia. Ini cilaka dua belas.
Namun pemerintah ini tidak menyerah, sekarang mereka sedang memgesahkan proyek tax amnesty jilid 2 melalui UU perpajakan. Mencari landasan yang lebih luas bagi pemberlakuan tax amnesty permanen.
Proyek tax amnesty kali yang jelas bukan menyasar ke dalam. Kalau menyasar ke dalam kapan pengusaha mau bayar pajak, tidak akan pernah, mereka akan mengemplang dan menunggu masa ikut amnesty. Tentu konyol kalau menyasar ke dalam negeri.
Tax amnesty jilid 2 jelas untuk menyasar uang kotor internasional, uang hasil kejahatan keuangan terutama yang berasal dari pengusaha Indonesia dan pajebat Indonesia yang disimpan di luar negeri. Ingat semua kejahatan keuangan di dunia, Indonesia selalu menjadi pemain utama.
Namun tax amnesty ini malah direspon oleh pihak global dengan mengumumkan Pandora Papers, sebuah skandal keuangan tingkat dunia, pejabat pejabat Indonesia juga terlibat di dalamnya.
Uang senilai 11,3 triliun dolar dalam dokumen Pandora Papers telah dikategorikan oleh global sebagai uang hasil kejahatan keuangan yang dihasilkan dari penipuan pajak di dunia.
Ingat kata kuncinya sekarang uang semacam itu sudah menjadi obyek pidana internasional dan bahkan kejahatan internasional di bidang keuangan.
Serangkaian kejadian ini sungguh menggambarkan bahwa sepak terjang pemerintahan Jokowi di bidang keuangan sedang menjadi fokus utama agenda global.
Langkah Indonesia yang hendak melakukan pencucian uang melalui modus tax amnesty telah menjadi perhatian dunia dalam memonitor tindak tanduk para bandit keuangan internasional.
Ini sungguh mengerikan sekali jika benar demikian, karena Indonesia dapat dituduh sebagai pusat kriminal keuangan, dua menteri kabinet Jokowi terlibat skandal Pandora Papers, sebuah tempat pencucian uang para bandit kelas kakap, yang sekarang terus berupaya survive di tengah badai yang mengamuk, namanya badai transparansi.
[***]