“PENDIDIKAN senjata paling ampuh yang dapat anda gunakan untuk mengubah dunia,” – Nelson Mandela.
Dunia dilanda virus corona atau Covid-19. Awalnya virus ini mewabah di Cina, pada akhir tahun 2019.
Awal mendengar virus itu, Indonesia belum merasakan kekhawatiran. Karena seperti yang sudah-sudah, virus Mers dan Sars, tidak heboh dan mematikan.
Ternyata di bulan Febuari, ada warga Indonesia yang terkena virus tersebut. Dalam hitungan hari, jumlah penderita semakin pesat, yang akhirnya negara kita pun mengalami pandemi, sama seperti negara di luar sana.
Pandemi Covid-19 menimbulkan dampak serius pada dunia pendidikan. Pada 16 Maret 2020, sekolah diliburkan. Padahal, saat itu siswa bersiap melaksanakan Ujian Nasional (UN).
Penyebaran virus Corona membuat kegiatan belajar mengajar dihentikan. Sekolah-sekolah mau tidak mau ditutup. Sisaa diliburkan sampai waktu belum ditentukan.
Banyak orang tua dan para siswa merasa kecewa. Semua rencana yang sudah disusun dengan baik oleh persekolahan menjadi ‘ambyar‘ karena pandemi ini.
Pemerintah menerapkan imbauan jaga jarak, menjauhi aktivitas dalam perkumpulan dan menghindari adanya pertemuan yang melibatkan banyak orang.
Kemendikbud mengeluarkan kebijakan dengan diliburkannya sekolah kegiatan belajar mengajar (KBM) tetap berjalan menggunakan sistem daring atau ‘online‘.
Bermacam media pembelajaraan daring sudah digunakan, antara lain menggunakan ‘Google Form, Google Classroom, Zoom Meet, e-Learning, Whatsapp Group‘.
Media pembelajaraan ini dipakai untuk menyampaikan materi ataupun tugas yang diberikan pendidik kepada siswa.
Namun, pembelajaraan daring menemui banyak kendala, antara lain tidak semua siswa memiliki sarana dan prasarana pendukung, jaringan internet yang naik turun, penguasaan teknologi yang masih rendah.
Belum lagi biaya yang dibutuhkan untuk kuota internet, keluhan siswa yang merasa kelelahan dengan banyaknya tugas belajar online. Terkadang tugas yang diberikan tidak seimbang dengan pemahaman materi yang didapatkan ini pun akan berpengaruh terhadap mental siswa.
Para siswa pun mengeluhkan kapan masuk sekolah, kapan belajar lagi di sekolah karena mereka merasa jenuh, ingin bermain dengan teman-temannya.
Sebelum pandemik, pendidik dan peserta didik melakukan pembelajaraan secara tatap muka, di mana guru, siswa dan teman-temannya dapat berinteraksi langsung.
Pada Permendikbud No.109/2013 disebutkan, pendidikan jarak jauh adalah proses belajar mengajar yang dilakukan secara jarak jauh melalui penggunaan berbagai media komunikasi.
Pembelajaraan daring sebenarnya bukan hal yang baru, karena di beberapa negara maju pembelajaraan secara online sudah biasa dilakukan. Juga demikian di proses pembelajaran perguruan tinggi.
Namun pada tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah, hal ini tentu belum popular. Sehingga perlu persiapan matang agar dapat berjalan dengan baik.
Di balik masalah dan keluhan yang dialami orangtua, pendidik dan peserta didik, terdapat hikmah bagi pendidikan di Indonesia.
Antara lain orang tua lebih dekat dengan anak-anak, dapat langsung memonitoring dan mengawasi pada perkembangan anak-anak merek. Komunikasi pun lebih intens dengan anak-anak.
Yang kedua, orang tua dan pendidik menjadi lebih kreatif dalam memilih metode yang digunakan dan media mana yang akan dipakai.
Di zaman yang serba canggih, pendidik, orang tua dan peserta didik diharuskan untuk memiliki kemampuan atau skill dalam bidang teknologi pembelajaraan.
Peserta didik akan lebih antusias dan menimbulkan kreativitas dalam pembelajaran online, dan guru akan lebih kreatif memilih model pembelajaraan yang akan digunakan.
Meskipun dunia pendidikan ikut terkena dampak oleh pandemik Covid-19, banyak pelajaraan yang dapat diambil.
Adanya pembelajaran jarak jauh atau daring memberikan manfaat untuk kita semua dimana meningkatkan kesadaran untuk menguasai kemajuan teknologi.
Pembelajaraan daring mungkin akan masih dilaksanakan selama pandemik. Situasi ini ke depannya belum dapat diprediksi, namun untuk meraih pendidikan Indonesia yang lebih maju, kita semua harus saling bersinergi dan berkontribusi.
Oleh Leni Alfiani Sukmana, mahasiswi semester VII Prodi PPKN Universitas Pamulang, Tangerang Selatan