HARI ini 1 Juni dirayakan Presiden, pejabat negara dan seluruh ASN sebagai hari lahirnya Pancasila. Dari sisi perspektif politik kekuasaan itu sah sah saja dan wajar dilakukan pemerintah berkuasa untuk mengingatkan bahwa kata Pancasila pertama kali dicetuskan Bung Karno pada 1 Juni 1945 meski rumusan utuhnya yang sekarang kita sebut Pancasila itu ditetapkan pada 18 Agustus 1945, sebelumnya dirumuskan panitia 9 BPUPK pada 22 Juni 1945 yang disebut piagam Jakarta.
Spirit lahirnya Pancasila sesungguhnya bukan untuk dirayakan tetapi untuk diamalkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Peran agar Pancasila diamalkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara itu seharusnya dilakukan pemerintah sebagai representasi negara.
Pertanyaanya apa yang dilakukan pemerintah saat ini dalam mengamalkan Pancasila? Saya mencermatinya hanya ada tiga, yaitu sloganisme, seremonialisme dan institusionalisme semu.
Sloganisme itu terlihat dari slogan yang dikampanyekan pemerintah yaitu “saya Indonesia saya Pancasila”. Seremonialisme itu terlihat dari upacara yang dilakukan Presiden, pejabat dan ASN yang dipaksa harus ikut upacara 1 Juni, jika tidak ikut ada semacam ancaman diberhentikan sebagai ASN.
Institusionalisme itu terlihat dari terbentuknya Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang berkantor di Istana dengan pekerjaan melakukan hegemoni makna atas Pancasila dan memperbanyak seremoni yang kehilangan makna. Terlihat semu.
Buktinya ketua BPIP Prof.Yudi Latief, Ph.D memilih mundur dari ketua BPIP karena mencium bau amis hegemoni tafsir Pancasila dan lembaga yang dikelola secara bertentangan dengan nilai nilai Pancasila.
Lalu semestinya seperti apa? Jawabanya ada pada jawaban dari pertanyaan ini. ” Apakah Pancasila harus diterjemahkan dalam sistem politik, ekonomi dan kebudayaan?”. Jika jawabannya iya, maka petanyaan berikutnya adalah, “apakah sistem politik, ekonomi dan kebudayaan kita saat ini sesuai Pancasila?”. Jawabannya adalah tidak.
Bagaimana disebut politik Pancasila faktanya politik dijalankan secara ultra liberalistik dan buah dari itu semua terdapat 61% kasus korupsi terjadi di ranah politik? Konflik horizontal dan ketegangan sosial yang tinggi berdampak disharmoni sosial usai pemilu tak hilang sampai kapanpun, dan kini menghadapi kondisi kronis secara sosial dan politik.
Bagaimana disebut ekonomi Pancasila faktanya ekonomi yang dijalankan pemerintah adalah neoliberalisme, bukan koperasi dan bukan. Optimalisasi BUMN, ada 4 orang terkaya di Indonesia kekayaanya sama dengan kekayaan 100 juta rakyat Indonesia.
Utang terus membengkak hingga melebihi 5.000 triliun, versi lain sudah mencapai 10.000.000, gap sosial ekonomi kita sangat tinggi dengan gini rasio 0,39.
Koperasi sebagai sokoguru ekonomi Pancasila tergilas model korporasi liberalistik, BUMN-BUMN makin banyak yang dilepas ke swasta, yang madih ada terus mengalami kerugian triliunan, dan mulai gulung tikar. Subsidi pendidikan, listrik, BBM juga dicabut.
Dari segi kebudayaan, bagaimana disebut kebudayaan Pancasila, faktanya sampai saat ini Pemerintah belum punya desain kebudayaan nasional berbasis Pancasila, dan secara sosial terjadi semacam erosi kebudayaan dilapisan elit, menengah dan lapisan bawah masyarakat Indonesia.
Jadi Pancasila memang hanya dijadikan slogan penguasa apalagi dipakai penguasa untuk memberi label bahwa yang Pancasilais adalah orang pemerintah tapi kelompok oposisi yang kritis adalah tidak Pancasilais. Jadi terkesan kuat slogan Pancasila digunakan untuk terus berkuasa.
Hal yang substansial saat ini dalam konteks Pancasila adalah melakukan evaluasi mendasar atas seluruh praktik politik, ekonomi dan kebudayaan kita, untuk kemudian menata ulang bagi masa depan Republik Indonesia yang lebih cerah dalam naungan paradigma Pancasila yang lebih tepat. Bukan sloganisme, seremonialisme dan institusionalisme semu yang menguras APBN triliunan rupiah.
Oleh Ubedilah Badrun, Analis Sosial Politik dan Direktur Eksekutif Center for Social, Political, Economic dan Law Studies (CESPELS)