SEMUA kekusutan dan kekisruhan yang mewarnai kehidupan negeri boleh jadi karena kita tidak cukup menerima olah batin. Demokrasi dirayakan dengan pesta jorjoran, miskin substansi dan refleksi; budaya dipadati tontonan ingar-bingar, kurang tuntunan etis dan estetis; agama diekspresikan dalam kerumunan dan kebisingan, miskin perenungan dan penghayatan.
Ruang publik disesaki sampah ucapan dengan menyisakan sedikit kerendahan hati untuk diam-mendengar. Untuk penjernihan, kita harus keluar dari kegaduhan menuju kesunyian. Jalaluddin Rumi berkata, “Hening adalah lautan. Ucapan adalah sungai. Saat lautan mencarimu, jangan melangkah memasuki sungai. Dengarkanlah lautan.â€
Kalaupun harus memasuki sungai, masukilah aliran sungai suara yang bening; tempat orang menemukan air jernih yang bisa digunakan untuk membersihkan diri. Bahasa musik yang sanggup menembus batas-batas ego-mental dengan kemampuannya menyentuh kedalaman hati bisa digunakan sebagai sarana olah batin. Manakala kita sulit dipertemukan dalam ucapan verbal, musik bisa digunakan sebagai sarana sambung rasa.
Di tengah krisis kebangsaan, kita patut mengapresiasi inisiatif sejumlah musisi yang menawarkan cara pengucapan yang berbeda. Bukan ucapan verbal yang memancing cekcok tafsir dan pertikaian, melainkan ucapan nada yang menyentuh perasaan yang membawa segala perbedaan menuju persatuan Indonesia. Seruan persatuan nasionalnya akan lebih kuat kalau tagline-nya bukan “Satu Indonesiakuâ€, tapi “Satu Indonesia Kitaâ€; seraya menyertakan musisi yang lebih lebih inklusif, termasuk penyanyi dengan busana bernuansa keagamaan yang khas (semacam berhijab).
Sosialisasi nilai Pancasila lewat musik bisa menjadi alternatif dari kecenderungan yang terlalu menekankan dimensi kognitif-normatif dengan pendekatan intelektualistis yang kering. Kekuatan suatu ideologi tidak hanya terletak pada kebernasan dan relevansi ide-idenya, melainkan juga pada kapasitasnya untuk memberikan inspirasi dan membangkitkan gairah (passion) untuk bertindak.
Kita memerlukan proses pembudayaan Pancasila secara holistik. Pengajaran Pancasila tidak sekadar menawarkan butir-butir kode moralitas untuk dihapalkan (logos), melainkan juga harus disajikan secara kreatif agar bisa menyentuh penghayatan emotif (pathos), yang mendorong tekad untuk mengaktualisasikan nilai-nilai moral itu dalam kehidupan nyata (ethos). Dengan kata lain, kita memerlukan pendekatan interaktif antara dimensi kognitif-saintifik, ekspresif-estetik dan praktis-moral. Ketiga dimensi tersebut bernilai setara, sehingga kehilangan salah-satunya beresiko kesenjangan dalam praksis Pancasila, seperti ketidakbersambungan antara pikiran (kognitif), perasaan (afektif), dan tindakan (konatif).
Musik bisa didayagunakan sebagai medium ekspresif-estetik untuk mengembangkan penghayatan emotif terhadap Pancasila. Musik bisa menumbuhkan suasana kejiwaan yang efektif untuk mengasah kepekaan afektif dalam menghayati dan menggelorakan nilai-nilai Pancasila. Menurut riset neuro-science, jenis lirik dan musik tertentu dapat merangsang perkembangan otak, khususnya otak kanan, yang memperkuat daya kreativitas dan afinitas sosial yang memberikan prakondisi mental untuk siap bergotong-royong.
Arti penting musik juga lebih terasa dalam konteks masyarakat demokratis yang bersifat ekspresif. Dalam ruang kebebasan berekspresi dan apresiasi, musik bisa menjadi pilihan atraktif untuk mengeskpresikan pikiran dan perasaan, terlebih dalam kehadiran lapis besar generasi X-Y-Z yang lebih terpapar dengan medium kreatif. Fakta, bahwa mayoritas penduduk Indonesia berusia muda, dan mayoritas mereka menyukai musik, menjadikan musik sebagai medium yang efektif untuk sosialisasi. Dalam perkembangan terakhir, musik Indonesia juga telah menjadi “tuan rumah†di negerinya sendiri, seperti diindikasikan oleh semakin meluasnya pangsa pasar lagu-lagu domestik. Singkat kata, kita harus sungguh-sungguh mempertimbangkan besarnya potensi musik bagi proses emansipasi dan transformasi bangsa, dengan melibatkan musisi dalam proses diseminasi nilai-nilai Pancasila.
Upaya sosialiasai Pancasila melalaui gerakan kebudayaan seperti ini penting untuk melakukan koreksi terhadap kecenderungan menjadikan politik dan ekonomi sebagai panglima. Padahal, transformasi sosial tidak akan pernah muncul hanya mengandalkan reformasi politik dan ekonomi, melainkan perlu berjejak pada reformasi sosial-budaya. Dalam gerakan sosial-budaya, musik bisa dijadikan wahana representasi habitus Indonesia berbasis Pancasila. Habitus dalam pengertian Pierre Bourdieu adalah skemata pengalaman dan persepsi yang bersifat kolektif yang mengandung ekspresi-subyektif identitas tertentu dan juga sebagai sarana-sarana obyektif bagi proses naturalisasi dan afirmasi identitas tertentu (Bourdieu 1977: 73). Dengan kata lain, musik bisa mengekspresikan nilai-nilai Pancasila yang tumbuh di bumi Indonesia, dan pada saat yang bersama berfungsi sebagai prinsip penganjur dan penyemai nilai-nilai Pancasila bagi rakyat Indonesia.
Ambillah contoh permainan angklung. Dalam angklung, setiap orang pada dasarnya memainkan satu nada (menjadi diri sendiri), tetapi dengan kesadaran penuh untuk memberi kesempatan berbunyi bagi nada lain. Dalam suatu ensambel di bawah kepemimpinan seorang dirigen, satuan-satuan ekspresi pribadi itu bisa dipertautkan menjadi harmoni kolektif. Singkat kata, permainan angklung dapat merefleksikan sekaligus membentuk kepribadian Indonesia.
Dengan melibatkan para musisi, penggiat dan penikmat musik lintas etnis-keagamaan dan mengambil jarak dari pertarungan politik praktis dalam masyarakat, gerakan Pancasila dalam musik juga bertindak sebagai medan perjumpaan bagi artikulasi kepentingan-umum dari kemajemukan bangsa. Suatu kekuatan artikulasi kepentingan secara estetik, tanpa jalur kekerasan.
Oleh Yudi Latif, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia