KedaiPena.Com – Jubir PAN Viva Yoga Mauladi menegaskan, jika partainya sudah mendukung peniadaan ambang batas pencalonan presiden atau Presidential Threshold (PT) bahkan sejak Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu masih dalam bentuk rancangan.
“PAN setuju presidential threshold 0 persen. Bahkan sejak pembahasan RUU Pemilu di mana saya ikut sebagai anggota Pansus RUU Pemilu, sikap PAN sudah jelas: Preshold 0 persen,” kata Viva Yogai dalam keterangannya, Rabu (15/12/2021).
Viva lantas menjelaskan alasan mengapa PAN mendukung PT diturunkan menjadi 0 persen. PAN meyakini PT 0 persen akan berpotensi memunculkan dan menumbuhkan tunas-tunas baru bagi kepemimpinan bangsa dan negara.
“Karena sudah tidak ada lagi pembatasan dalam pengusulan pasangan calon oleh partai politik atau gabungan partai politik,” ujarnya.
Menurut Viva, PT 0 persen juga akan menghilangkan kesan dan persepsi negatif kepada partai politik yang dianggap sebagai pembajak sistem demokrasi Pancasila dan menjadi akar kepemimpinan oligarkis sebagai virus bagi kesehatan demokrasi.
“Saya yakin, meski Preshold 0%, tidak seluruh partai politik akan menyalonkan kadernya di Pilpres, mengingat ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, misalnya tentang logistik, elektabilitas, struktur dan organisasi kampanye, dan lainnya,” tuturnya.
Selain itu, kata Viva, PT 0 persen dapat menghilangkan bahaya potensi konflik akibat pasangan calon sedikit (hanya 2 paslon) yang memasukkan nilai primordial ke dalam turbulensi politik dan dijadikan kayu bakar elektabilias.
“Jika paslon lebih dari 3, potensi konflik relatif rendah,” imbuhnya.
Lebih lanjut PAN mengapresiasi usulan dari masyarakat yang melakukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi (MK), meski MK pernah memutuskan bahwa soal PT adalah open legal policy.
Wakil Ketua Umum PAN ini menyebut adanya gugatan ke MK menjadi bukti bahwa sistem ketatanegaraan Indonesia berjalan dalam koridor demokrasi konstitusional. Fungsi cabang-cabang kekuasaan dalam implementasi Trias Politica di Indonesia relatif berjalan dengan baik.
“Hal ini juga menandakan bahwa Indonesia adalah negara hukum (Rechtsstaat), bukan negara kekuasaan (machtsstaat). Hukum sebagai panglima dalam kehidupan kenegaraan, bukan politik ataupun ekonomi,” pungkas dia.
Laporan: Muhammad Hafidh