KedaiPena.com – Hilangnya Mandatory Spending anggaran kesehatan dinilai sebagai bentuk ketidakberpihakan pemerintah pada kepentingan masyarakat dan indeks pembangunan manusia.
Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menyatakan pembahasan RUU Omnibus Law Kesehatan hingga saat ini seperti petak umpet yang seolah-olah menghindari dari pandangan publik. Publik tidak dilibatkan dalam diskursus draft RUU Omnibus Law Kesehatan. Hal ini menunjukkan bahwa RUU Omnibuslaw ini dibuat bukan untuk kepentingan rakyat.
“Bagaimana tidak? RUU Omnibus Law Kesehatan tidak memuat minimal anggaran untuk kesehatan. Rakyat kembali termarginalkan dengan dihapusnya Omnibus Law Kesehatan,” kata Achmad Nur, Jumat (23/6/2023).
Ia menyatakan dengan hilangnya mandatory spending anggaran kesehatan, menempatkan kesehatan rakyat tidak lagi menjadi prioritas dalam APBN.
Padahal mandatory spending sudah ada pada Pasal 171 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang di dalamnya mengatur bahwa pemerintah pusat wajib mengalokasikan minimal 5 persen APBN dan pemerintah daerah sebesar 10 persen dari APBD untuk pembangunan kesehatan di luar belanja pegawai.
“Mandatory spending minimal 5 persen dari APBN untuk kesehatan seharusnya dipertahankan bukan dihilangkan. Anggaran kesehatan yang ditentukan minimal 5 persen sebenarnya sangat membantu peningkatan indeks pembangunan manusia (IPM),” ucapnya.
Achmad Nur mengungkapkan jika melihat kapasitas pembangunan manusia Indonesia masih tertinggal di dunia, seharusnya minimal anggaran kesehatan 5 persen ditingkatkan menjadi 15 persen APBN secara bertahap.
“Bahkan untuk ukuran negara berpenghasilan rendah (low income country), anggaran kesehatan negara tersebut mencapai 11 persen budget negara setahun berdasarkan data WHO 2010,” ucapnya lagi.
Diinformasikan, ada tiga negara berpendapatan rendah di Afrika, seperti Rwanda, Tanzania, dan Liberia, telah berani mengalokasikan dana untuk sektor kesehatan hingga 15 persen dari APBN-nya. Chili, negara latin Amerika mampu mengalokasikan anggaran untuk kesehatan hingga 16 persen.
Badan kesehatan dunia (WHO) memiliki standar internasional bahwa alokasi anggaran kesehatan setiap negara seharusnya minimal 15 persen dari total APBN atau setara dengan 5 persen dari PDB.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan IPM 2022 di angka 72,91, angka tersebut menjadikan Indonesia menempati peringkat 130 dari 199 negara dengan peringkat EQ peringkat enam dari negara ASEAN. Kalah dengan Singapura, Malaysia, Thailand dan Vietnam.
Indeks pembangunan manusia Malaysia menempati peringkat ke 62, kemudian Korea Selatan berhasil mendapatkan peringkat 23 dan Singapura menempati peringkat ke 11 dengan nilai indeks pembangunan manusia 0,938.
“Kapasitas pembangunan manusia Indonesia masih jauh tertinggal bahkan dengan negara tetangga di kawasan Asia Tenggara. Indeks pembangunan manusia ini mencerminkan bagaimana tingkat kesehatan, pendidikan dan standar hidup penduduk suatu negara. Bila anggaran minimal kesehatan dihapuskan bagaimana Indonesia memastikan IPM Indonesia menang bersaing,” pungkas Achmad Nur.
Laporan: Ranny Supusepa