KedaiPena.Com- Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia Fahri Bachmid berpendapat baik dari filosofis maupun legalistik tidak cukup terdapat argumentasi yang memadai untuk dengan mudah menjustifikasi produk putusan dari lembaga etik dapat membatalkan produk putusan mahkamah konstitusi (MK).
Pasalnya, kata dia, pada hakikatnya MK dengan putusannya adalah organ konstitusional yang sangat limitatif terkait dengan kewenagan atributifnya termasuk sifat putusannya yang bercorak ergo omnes maupun final and binding.
“Demikian sepanjang mengenai produk putusan yang telah dikeluarkannya sama sekali tidak dibuatkan sebuah mekanisme banding atau peninjauan kembali untuk mereview terhadap segala hal, baik materil maupun formil yang melingkupinya, apakah yang berkaitan dengan keadaan atau fakta hukum tertentu, aspek legal serta prosedur hukum acara dan seterusnya,” jelas dia dalam keterangan tertulis, Senin,(6/11/2023).
Fahri sapaanya mengungkapkan, hal tersebut juga termasuk dalam unsur dinamika yang terjadi dalam proses pengambilan putusan dalam forum rapat permusyawaratan hakim atau RPH.
“Semisal terdapat pendapat berbeda dissenting opinion dan/atau alasan hukum yang berbeda concurring opinion para hakim konstitusi, tetapi ketika telah dibacakan dalam forum persidangan yangterbuka untuk umum, maka tentunya disitulah keabsahan/keberlakuannya, apakah sifatnya putusan MK yang Self Implementing atau Legally Null And Void atau Conditionally Constitutional ataukah Conditionally Unconstitutional dan seterusnya sehingga tidak tersedia alat konstitusional untuk dapat mengujinya,” beber dia.
Fahri melanjutkan, bahwa hal tersebut berbeda dengan konstruksi pelembagaan forum etik MK yang cuma berdasarkan pada mandat hukum setingkat UU.
Ia menegaskan, UU mendelegasikan MK wajib menyusun kode etik dan pedoman hakim konstitusi norma yang harus dipatuhi oleh setiap hakim konstitusi dalam menjalankan tugasnya.
Sejalan itu, ia menerangkan, bahwa hal tersebut juga untuk menjaga integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, dan negarawan.
“Sehingga jika kita mencoba mendalami dengan metode penafsiram yang sistematis serta teleologis, maka sesungguhnya produk putusan MKMK dalam hal Hakim Terlapor atau Hakim Terduga, menurut Majelis Kehormatan, jika terbukti melakukan pelanggaran,” imbuh dia
Dengan kondisi demikian, ia mengaku, belum menemukan suatu argumentasi konstitusional dan hukum kokoh terkait ekstensifikasi produk putusan lembaga etik membatalkan produk putusan MK.
Ia menegaskan belum adanya teori serta doktrin hukum yang memadainya dan relevan dangan permasalahan tersebut.
“Sebab secara filosofis, sesungguhnya putusan MKMK adalah dalam rangka menegakan Code of Conduct yaitu menegakkan,” tandas dia.
Laporan: Tim Kedai Pena