KedaiPena.Com – Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, turut mengomentari sikap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ‘mengabaikan’ audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas dugaan korupsi pembelian sebagian lahan RS Sumber Waras (RSSW).
Eks Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) ini menyayangkan sikap KPK, lantaran audit tersebut dianggap belum cukup untuk meningkatkan status hukum kasus itu dari penyelidikan ke penyidikan.
“Sebenarnya, BPK itu kan supremen auditor yang dibentuk konstitusi (UUD 1945). Jadi, hasil BPK tidak bisa dinilai siapapun,” ujarnya di Kantor DPP PAN, Senopati, Kebayoran Baru, Jakarta Pusat, Jumat (17/6).
Yang bisa menilai BPK, sambung Yusril, adalah lembaga auditor serupa di negara lain yang bertujuan mencari pendapat kedua yang berbeda (second opinion).
“Jadi, hasil audit BPK itu sebagai alat bukti di pengadilan, alat bukti surat,” jelasnya.
Untuk ‘menterjemahkan’ hasil audit tersebut, nantinya hakim akan memanggil ahli untuk mempresentasikannya. “Atau BPK sendiri mengirimkan orang yang mengaudit itu dan dia memberikan keterangan,” sambung Yusril.
Dengan demikian, hasilnya nanti adalah keyakinan hakim, apakah alat bukti tersebut sesuai fakta atau tidak. Dia lantas mencontohkan dengan bukti visum et repertum atau keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter dalam ilmu kedokteran forensik atas permintaan penyidik.
“Ada orang dibunuh, diracun, mati, terus dilakukan bedah mayat oleh dokter Mu’nim Idris misalnya. Hasil bedah mayat itu, bukti seperti hasil auditnya BPK,” beber ketua umum DPP PBB ini.
“Apakah polisi bisa menilai hasil bedah mayat itu? Enggak bisa. Dia enggak bisa nilai. Jadi, hasil visum itu adalah bukti surat,” imbuh Yusril.
Nantinya, bukti surat tersebut disampaikan ke pengadilan dan Mu’nim dipanggil untuk menerangkan apa yang dilakukan saat membedah mayat. Ahli terkait pun bisa dipanggil untuk menerangkan apa yang dikerjakan oleh dokter.
“Yang membuktikan alat bukti itu bisa digunakan atau tidak digunakan sebagai alat bukti itu hakim, bukan penyidik. Penyidik tidak bisa menilai,” tegasnya.
Politikus yang juga ahli hukum asal Belitung ini juga mengingatkan, bahwasanya sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), alat bukti pada suatu perkara hukum tertuang dalam Pasal 184 KUHAP. Rinciannya, keterangan saksi, terdakwa, ahli, surat-surat.
Sedangkan seseorang ditetapkan sebagai tersangka karena minimal telah ada dua alat bukti pendahuluan yang mencukupi. Sehingga, visum et repertum tadi ataupun audit BPK harus diterima sebagai suatu kebenaran.
“Nanti pengujian materiilnya benar atau tidak, itu pengadilan,” tutup mantan Menteri Hukum dan HAM ini.
(Fat/Prw)