KedaiPena.com – Peristiwa rob di Semarang dan sekitarnya dinyatakan merupakan efek dari penurunan muka tanah, yang menyebabkan air laut lebih mudah memasuki daratan Semarang dan sekitarnya. Untuk menyelesaikannya, dibutuhkan komitmen Gubernur Jawa Tengah secara jangka panjang dan keterlibatan pihak swasta.
Pakar Geodesi ITB, Heri Andreas menyampaikan jika dipertanyakan tentang masuknya air laut ke wilayah daratan Semarang pada periode 15 hingga 20 tahun, jawaban masyarakat pasti tidak ada.
“Pada tahun 90an atau awal tahun 2000, kejadian banjir rob ini belum ditemukan di wilayah pantura. Data satelit juga menunjukkan pada kisaran tahun tersebut, wilayah persawahan masih terpantau asri, rumah penduduk juga aman. Tidak ada itu banjir rob, apalagi yang semasif saat ini,” kata Heri saat dihubungi, Rabu (1/6/2022).
Padahal, lanjutnya, pasang surut air laut tetap terjadi secara berkala sesuai dengan mekanisme bulanan dan tahunan. Begitu pula dengan periode hujan dan gelombang tinggi.
“Tapi dalam beberapa waktu belakangan, muncul banjir rob. Sebagai akibat penurunan muka tanah pesisir sehingga menyebabkan lebih rendah dari laut. Ya akhirnya laut tumpah ke daratan,” paparnya.
Penurunan muka tanah Semarang dan sekitarnya, menurut data, mencapai 10 cm per tahun. Bahkan pada beberapa daerah mencapai 20 cm per tahun.
“10 cm itu kategorinya ekstrim. Kalau 10 tahun saja sudah 1 meter. Kalau 10 tahun dulu dibangun tanggul setinggi 1 meter tapi ada penurunan tanah, ya tetap saja tanggulnya tidak bisa mencegah air laut masuk ke daratan,” paparnya lagi.
Heri menjelaskan permukaan tanah menurunkan dapat disebabkan oleh beberapa faktor.
“Pada wilayah pesisir, yang memiliki tipe sedimen lunak, penurunan muka tanah ini terjadi secara alamiah. Sekitar 1 hingga 2 cm per tahun. Jika secara alamiah 2 cm, ada sisa penurunan 8 cm. Sementara, pembangunan infrastruktur yang membebani akan menurunkan 1 hingga 2 cm lagi,” urainya.
Penyebab terbesar penurunan muka tanah ada eksplotasi air tanah yang menyebabkan kompaksi aquifer, yang mampu menurunkan muka tanah sekitar 6 cm.
“Misalnya di Pekalongan, itu semua akses air dilakukan dengan mengambil air tanah. Di Semarang, memang menggunakan PAM tapi sumber airnya juga dari air tanah. Jadi ya sama saja,” kata
Penyelesaian masalah rob ini, menurut Heri tidak bisa hanya dilakukan secara jangka pendek dengan membangun tanggul yang dipantau secara ketat.
“Untuk jangka panjangnya ya harus mencari sumber air untuk memenuhi kebutuhan publik. Mengisi air tanah kan sulit, ya artinya Pemprov Jawa Tengah harus memikirkan alternatif lainnya. Seperti desalinasi air laut,” ujarnya tegas.
Diakui oleh Heri bahwa teknologi desalinasi ini membutuhkan biaya yang tidak kecil.
“Pak Gubernur Jateng itu sudah percaya kalau land subsidence atau penurunan muka tanah adalah faktor terbesar penyebab rob. Tapi kan mencari sumber air baru tidak mudah dan juga tidak murah. Untuk desalinasi itu harganya bisa mencapai 20 kali lipat dibandingkan harga saat ini, yaitu dengan mengeksploitasi air tanah,” ujarnya.
Jika memang dianggap sebagai hal yang penting, seharusnya Pemprov Jateng mampu untuk mengadakan anggaran jangka panjang sebagai investasi ke depannya.
“Kalau dihitung, jauh lebih besar dampak rob dibandingkan pengadaan anggaran untuk teknologi pengadaan air yang lebih ramah bagi tanah. Jadi tergantung pemerintah saja. Kalau memang dianggap penting, ya harus jadi program yang melewati batas periode jabatan kepala daerah dan juga membutuhkan komitmen para pelaku industri untuk terlibat,” pungkas Heri.
Laporan: Ranny Supusepa