KedaiPena.com – Kondisi industri manufaktur di Indonesia saat ini menunjukkan tren penurunan yang konsisten, baik dari sisi kontribusi bagi perekonomian, pertumbuhan maupun kualitas pekerjaan.
Penurunan ini menjadi isu yang signifikan karena sektor manufaktur secara historis memiliki peran penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja berkualitas khususnya bagi kalangan menengah, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pakar Ekonomi, Masyita Crystallin menyebutkan ada beberapa fenomena penting yang patut dicermati dari kondisi sektor manufaktur Indonesia saat ini.
“Yang pertama itu adalah penurunan peran sektor manufaktur, yang terus terjadi dalam satu dekade terakhir. Hal ini tercermin dari menurunnya porsi industri manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dari 21,7 persen pada tahun 2013 menjadi 20,4 persen pada tahun 2023,” kata Masyita, Sabtu (26/10/2024).
Bahkan, lanjutnya, pada tahun 90an, sektor manufaktur berada di kisaran 30 persen, yang menunjukkan bahwa peran sektor manufaktur terus tergerus dalam menopang perekonomian nasional.
Penurunan ini juga terjadi dalam konteks di mana pertumbuhan sektor manufaktur terus-menerus berada di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional, menandakan bahwa kontribusi sektor ini bagi perekonomian menjadi kurang signifikan dibanding sektor-sektor lain.
Sektor manufaktur mengalami penurunan tingkat pertumbuhan sejak 2022. Data menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan menurun dari 4,89 persen pada 2022 menjadi 4,64 persen pada 2023, dan terus menurun menjadi 4,13 persen serta 3,95 persen di dua kuartal pertama 2024.
“Penurunan ini menunjukkan perlambatan ekspansi sektor manufaktur yang sebelumnya menjadi salah satu pendorong utama ekonomi Indonesia,” ujarnya.
Masyita pun menyatakan bahwa sektor manufaktur di Indonesia kini juga memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi keseluruhan (dragging), yaitu kondisi dimana suatu sektor ekonomi mengalami pertumbuhan lebih lambat dibandingkan dengan sektor atau komponen lain, sehingga secara keseluruhan memperlambat laju pertumbuhan ekonomi.
Hal ini menunjukkan bahwa sektor ini tidak lagi menjadi motor penggerak utama perekonomian. Penurunan peran sektor manufaktur juga menandakan bahwa sektor ini kurang mampu mengikuti perkembangan zaman/teknologi, menghadapi persaingan global, atau beradaptasi dengan perubahan struktural ekonomi.
Dengan demikian, sektor manufaktur tidak hanya tertinggal secara pertumbuhan, tetapi juga berisiko semakin terdesak oleh sektor-sektor lain yang lebih kompetitif dan inovatif dalam memacu ekonomi Indonesia.
“Penurunan peran sektor manufaktur di Indonesia mencerminkan ketidakmampuannya dalam mengikuti perkembangan zaman, terutama dalam hal teknologi dan globalisasi,” ujarnya lagi.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa penurunan pertumbuhan manufaktur juga diikuti oleh menurunnya kualitas pekerjaan di sektor ini.
Data menunjukkan penurunan jumlah pekerja formal dari 11,7 juta orang pada 2022 menjadi 11,6 juta pada 2023. Sebaliknya, jumlah pekerja informal di sektor ini meningkat dari 7,4 juta pada 2022 menjadi 7,7 juta pada 2023.
Penurunan ini juga telah terjadi dalam beberapa tahun belakangan dari sisi kuantitas. Sebelum Covid (2019), sektor manufaktur menyumbang 14,9 persen total pekerjaan di Indonesia namun pada 2023 turun hanya menjadi 13,8 persen.
“Hal ini mengindikasikan bahwa selain sektor manufaktur yang tidak tumbuh secara optimal, kualitas lapangan kerja yang tersedia juga memburuk. Lebih banyak pekerja informal berarti lebih banyak pekerja yang tidak mendapatkan perlindungan sosial, upah tetap, dan hak-hak ketenagakerjaan lainnya. Dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat cukup signifikan, karena pekerja informal umumnya memiliki pendapatan yang lebih rendah dan kurang stabil dibandingkan pekerja formal,” kata Masyita lagi.
Penurunan kualitas pekerjaan, yang diukur melalui peningkatan pekerja informal, juga berarti adanya penurunan upah dan daya beli masyarakat yang bekerja di sektor ini. Ketika upah menurun, otomatis daya beli juga ikut menurun, maka konsumsi domestik, yang merupakan komponen terbesar (lebih dari setengahnya) Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, juga pasti akan melemah.
“Konsumsi masyarakat yang lebih rendah akan berdampak langsung pada penurunan pertumbuhan ekonomi nasional. Indikasi sudah mulai nampaknya, khususnya di tengah menurunnya daya beli kelas menengah Indonesia,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa