SETIDAKNYA ada lima alasan mestinya Sudirman Said (SS) mundur dari kabinet. Pertama, SS terbukti tidak punya kapasitas dan kompetensi dibidangnya.
Pilihannya agar ladang gas abadi Blok Masela dikelola secara offshore dan hitung-hitungannya berkaitan dengan pembiayaan proyek yang mencapai triliunan tersebut ternyata bukan cuma ngawur, tetapi juga didasari oleh kepentingan kelompok-kelompok tertentu yang ingin mengambil keuntungan di atas keterpurukan kesejahteraan masyarakt Timur Indonesia, khususnya Maluku.
Kedua, sebagai menteri teknis SS selama ini melakukan insubordinasi atau pembangkangan terhadap Menkonya sendiri.
Ibarat pemain bola terlalu banyak pelanggaran yang dilakukan oleh SS, tetapi sanksi terhadapnya tidak dapat langsung dijatuhkan karena selama ini ada oknum seorang ‘’manajer tim’’ yang berpihak dan membelanya.
Ketiga, SS merupakan sumber utama kegaduhan di kabinet dalam urusan ladang gas abadi Blok Masela dan Kontrak Karya Freeport, bahkan SS menyeret JK dalam kegaduhan sekaligus sebagai beking SS dengan mempersoalkan nomenklatur Menko Maritim dan Sumber Daya yang merupakan atasan SS.
Keempat, SS terbukti tidak punya kemampuan bekerja secara tim. Ibarat reporter dalam pekerjaan keredaksian dia tidak melaksanakan visi idealisme jurnalistik. Contoh ini diperlihatkan oleh sebuah majalah berita mingguan terbitan ibukota yang dalam persoalan Masela bersikap maju tak gentar membela yang bayar, yaitu jadi corong SS dan konco-konconya.
Kelima, SS punya reputasi tercela dalam urusan Kontrak Karya Freeport dimana dia bertindak di luar kewenangan. Seperti diketahui Kontrak Karya Freeport habis 2021 tetapi diperpanjang dan direspon positif oleh Sudirman Said bahkan dia dengan vulgar membuat surat yang menjamin perpanjangan kontrak.
Lima alasan ini setidaknya dapat dijadikan entry point buat Presiden Jokowi untuk mencopot SS dari kabinet, bahkan banyak yang setuju ini dijadikan entry point untuk memberantas mafia migas yang diduga kuat melibatkan sejumlah figur di kabinet dan jaringan di SKK Migas.
Seperti diketahui, sudah bukan rahasia lagi bahwa di negeri ini sejak Orde Baru terdapat tiga sumber batil untuk pembiayaan politik kelompok-kelompok pro KKN. Yang paling besar adalah bersumber dari sektor migas. Kedua sektor pangan, dan ketiga bersumber dari sektor perizinan atau regulasi.
Mungkin ada baiknya kalau dalam waktu dekat ini SS segera mencontoh sikap satria Dirjen Pajak Sigit Priadi Pramudito yang beberapa waktu lalu mengundurkan diri dari jabatannya karena tidak sanggup memenuhi target pajak nasional.
Atau sikap bertanggungjawab yang ditunjukkan oleh Dirjen Perhubungan Darat Kemenhub Djoko Sasono yang mundur dari jabatannya karena merasa gagal mengantisipasi lonjakan angkutan natal dan tahun baru 2015 yang lalu.
Sikap dua Dirjen ini dapat dan boleh dicontoh oleh SS. Tidak perlu jauh-jauh mencontoh sikap atau moralitas para pejabat seperti di Jepang atau Korea yang suka harakiri atau gantung diri kalau merasa malu karena melakukan kesalahan.
Sebab harakiri atau gantung diri karena malu dan bertanggungjawab atas kesalahan adalah hal yang mustahil, atau kata pelawak Asmuni adalah ‘’hil yang mustahal’’ — dilakukan oleh para pejabat Indonesia.
Oleh Jurnalis Senior Arief Gunawan