SALAH satu ciri tata negara tradisional, kekuasaan terpusat pada satu orang. Waktu Gajah Mada mangkat dibutuhkan empat orang untuk menggantikan. Selain perdana menteri Gajah Mada adalah jaksa agung, menlu, dan bhayangkara negara.
Mohamad Yamin yang urang awak, pecinta sejarah. Menulis Ketatanegaraan Majapahit sampai tujuh jilid, dan bikin sketsa imajinasi wajah deklarator Sumpah Palapa itu hingga populer sampai sekarang.
Ciri ketatanegaraan tradisional-feodal memang begitu. Nepotisme juga hal biasa. Mataram Baru idem ditto. Raja bergelar berlapis-lapis. Panoto Gomo, Ingalogo, Sampeyan Dalem, Ingkang Sinuwun.
Di era sekarang, Ratu Utang Sri Mulyani yang sudah bergelar Sales Promotion Girl World Bank & IMF, dan oleh Anwar Nasution didaulat Menteri Batok Kelapa, mau menambah kuasa, meski prestasi tidak ada.
Sri Mulyani malah menunjukkan kelakuan ‘power hungry‘ (kemaruk kuasa). Bukan fokus membebaskan rakyat keluar dari krisis. Menteri Keuangan dan KSSK sebelumnya sudah mendapat kekuasaan luar biasa dalam UU 2/2020 atau yang dikenal dengan UU Corona.
“KKSK sudah diberi kekuasaan luar biasa via UU 2/2020, Menteri Keuangan terbalik usulkan lagi kekuasaan tambahan agar BI, OJK, LPS di bawah Menkeu dengan bentuk lembaga baru Dewan Moneter,” tandas tokoh nasional Rizal Ramli.
Rizal Ramli menyayangkan Presiden Jokowi yang begitu gampang mempersilakan menterinya menambah kekuasaan. Padahal mestinya segera sadar dan fokus menyelesaikan krisis.
“Kuasa-demi tambah-kuasa, tapi tidak fokus pada keluar krisis. Pak Jokowi kok sebegitu mudahnya diakali?” kata Rizal Ramli.
Apa hendak dikata, rupanya Sri Mulyani memang ambisius, mau lebih kuasa dari Gajah Mada. Mayoritas rakyat sedang benar-benar ‘hungry‘, lapar karena ditimpa berbagai kesulitan akibat resesi, kini si Ratu Utang malah atraktif memperlihatkan tabiat ‘power hungry‘. Kata orang: celaka 13’.
Oleh Arief Gunawan Wartawan Senior