Artikel ini ditulis oleh Ahmad Khozinudin, Sastrawan Politik.
Rupanya, Jaksa mulai tidak PD menangani kasus Tom Lembong, hingga perlu mengklarifikasi pandangan masyarakat yang menyebut kasus Tom Lembong Politis. Sayangnya, klarifikasi Jaksa sekenanya.
Untuk membantah tuduhan politis, Jaksa menyebut telah 3 kali memeriksa Tom Lembong. Jadi, unsur politis dianggap ada pada penetapan tersangka, yang dianggap tidak prosedural, super kilat.
Padahal, 3 kali periksa itu hanya membuktikan proses mengikuti hukum acara. Walaupun, kalau sudah ditarget, periksa 3 kali bisa didesain sebelum menetapkan tersangka.
Namun, unsur utama kasus ini politis adalah tebang pilih. Terutama, jika disandingkan dengan kasus Airlangga Hartarto dalam kasus korupsi minyak goreng.
Kenapa politis? Karena, Airlangga dihentikan kasusnya setelah merapat ke Prabowo Gibran saat Pilpres 2024. Kenapa Tom tetap diproses, kendati Pilpres telah usai? Karena Tom, selain timses juga orang yang menjadi think thank Anies. Desain masa depan Anies, sekaligus bohir politik Anies untuk masa depan politiknya.
Lagipula, banyak kasus korupsi lain yang dibiarkan, tidak dilanjutkan. Dari kasus Zulkifli Hasan, Cak Imin, hingga anak Presiden dan mantunya. Belum lagi, kasus Mulyono.
Negeri ini akan terus bertengkar, karena ketidakadilan. Kezaliman, bisa terjadi karena orang baik dituduh jahat. Atau penjahat, tidak semuanya disikat.
Kriminalisasi, adalah ungkapan untuk ulama dan aktivis, yang berdakwah dan menyampaikan pendapat, dituduh penjahat. Politisasi, adalah ketika penjahat dari kubu berbeda disikat, dari kubu yang sama dirumat (dipelihara).
Hukum yang seperti ini, hakekatnya bukan hukum untuk manusia. Melainkan hukum rimba. Homo homini lupus. Manusia, menjadi serigala bagi manusia lainnya.
Selamat datang, di hutan belantara Nusantara. Asah cakar dan taringmu, terkamlah sebelum engkau dilumat!
[***]