MEGAWATI memang sudah sepantasnya dipanggil Paduka. Sebuah panggilan terhadap orang yang mulia atau terpaksa dianggap mulia. Mengapa demikian? Lihatlah 4 fenomena berikut: Pertama, rakyat marhaen telah berbondong-bondong  mengekspresikan diri menolak Ahok sebagai calon gubernur DKI. Karena Ahok dianggap gagal, arogan dan penindas. Mereka datang mengekspresikan itu kepada Megawati, melalui simbol mendatangi kantor PDIP, beberapa waktu lalu, meminta Mega untuk tidak mendukung Ahok pada pilkada nanti.Â
Dalam masyarakat yang demokratis dan egaliter, tentu seharusnya kaum Marhaen itu mengutuk Megawati, karena dialah penanggungjawab rezim DKI selama 5 tahun ini, setidaknya “sharing responsibility”. Namun karena dia Paduka, maka rakyat tetap saja berkeluh kesah.Â
Bambang DH, yang sebelumnya Ketua PDIP DKI yang dianggap terlalu banyak memfasilitasi gerakan kaum Marhaen ini, malah diberhentikan.
Kedua, orang orang berspekulasi bahwa Megawati telah melakukan politik “dagang sapi”. Melakukan barter politik terhadap Jokowi. Mega akan mendukung Ahok sebagai cagub, dengan bayaran Jokowi mendukung mantan adc-nya, Budi Gunawan (BG) sebagai kepala BIN.Â
Isu ini telah dibantah pimpinan PDIP. Berbagai pihak terlanjur percaya. Yorrys Raweyai, Ketua Golkar, pendukung Ahok, mendahului statemen bahwa PDIP akan mengumumkan pencalonan Ahok tanggal 9 september. Faktanya, BG sudah dilantik, Megawati belum menyatakan dukungan terhadap Ahok. Statement Yorrys dimentahkan PDIP.
Yorrys dan pendukung Ahok lainnya tidak membuat statemen kemarahan terhadap Megawati. Megawati adalah Paduka. Tetap harus ditunggu kabar selanjutnya.
Ketiga, Poltracking, sebuah lembaga kajian politik dan survei, menurunkan hasil risetnya yang terbaru, kemarin, 59 halaman, soal cagub dan harapan atas Jakarta. Riset ini tidak provokatif seperti karya riset Prof Hamdi Muluk. Secara metodologi, validitas dan reabilitas sudah saintifik. Intinya menyimpulkan bahwa jika Megawati memilih kader PDIP sendiri, Risma, dipasangkan dengan pendamping cawagub yang sudah beredar, Ahok akan dikalahkan.
Riset ini memberi penguatan atas sosok Risma dan justifikasi bahwa Pdip punya kekuatan menentukan kadernya sendiri sebagai cagub DKI, bukan mengusung kader partai lain atau sosok independen. Hal ini sudah menjadi agenda sentral Megawati sebelumnya, yakni di Sumut, Jatim, Jateng, Jabar dan Jakarta pada pilkada lalu. Banyak pihak bertanya, mengapa Megawati sepertinya lamban?
Namun, hasil survei ini juga menunggu Paduka Megawati.
Keempat, fenomena ini betul luar biasa, yakni pandangan Hasyim Muzadi yang diungkapkan ke publik kemarin, bahwa dia akan menjadi jurkam cagub PDIP di DKI, jika PDIP mencalonkan kadernya sendiri.
Luar biasa karena Hasyim Muzadi adalah sosok kharismatik dari ormas besar NU yang seharusnya netral. Sebagai penasehat Jokowi, Hasyim berseberangan dengan Jokowi soal dukungan terhadap Ahok.Â
Di samping itu, hasrat Hasyim ini dikaitkan dengan alasan bahwa dukungan PDIP terhadap calonnya sendiri adalah bentuk perlawanan terhadap kekuatan modal yang selalu mendikte pemilu. Itu adalah ide inti daripada inti Soekarnoisme dan Marhaenisme, kata Muzadi.
Paduka Megawati dan Takaran Soekarnoisme‎
Gerakan rakyat Marhaen dan gerakan Hasyim Muzadi dan berbagai rakyat yang menunggu keputusan Megawati di detik-detik akhir pendaftaran calon gubernur DKI, sebenarnya dapat ditafsirkan  merupakan sebuah keraguan atas Soekarnoisme pada sosok Megawati.Â
Atau sebaliknya Soekarnoisme itu sendiri adalah manifestasi langkah Megawati terhadap apapun.
Setidaknya itu yang akan diingat rakyat dalam babak sejarah dinasti Soekarno ke depan.
Dalam pengertian Soekarnoisme yang dipersepsikan sebagai perjuangan rakyat Marhaen terhadap kapitalis; atau perjuangan kaum nasionalisme terhadap asing; atau perjuangan Soekarnois terhadap Soehartois dan Orba; atau perjuangan kaum mustadzafin terhadap penindas, maka gerakan Hasyim Muzadi dan kaum Marhaen yang menuntut Megawati mencalonkan kadernya sendiri adalah keharusan.Â
Mendukung Ahok bagi mereka adalah jalan sesat. Sebuah pengingkaran atas Soekarnoisme dan Marhaen. Sebab Ahok adalah simbol orde baru, karena didukung kaum Soehartois dan Orba dalam karirnya; simbol perkawinan kekuasaan dengan kaum pemilik modal; serta simbol penindasan terhadap kaum miskin kota, wong cilik.
Apakah Megawati ada di jalan ini? Pertanyaan ini menjadi penting mengingat Megawati akan melakukan regenerasi dalam waktu dekat, setidaknya dilihat dari sisi usianya. Â Dan, banyaknya penampakan “cium tangan” elit politik yang sudah menurun kepada Pewarisnya, Puan Maharani.
Keraguan atas Megawati pada garis Soekarno memiliki rekam jejak yang turun naik. Sepanjang tahun 1968 sampai 1986, ketika berlangsung perjuangan rakyat Marhaen dan para aktifis anti orde baru, Megawati tidak bersama rakyat. Makanya, spekulasi diawal kemunculannya, banyak pihak meragukan Mega sebagai “anak ideologis” bung Karno, termasuk penilaian dari adiknya sendiri, Rachmawati Soekarnoputri.
Lalu apa yang terjadi jika Megawati akan mendukung Ahok? Seorang proxy pemilik modal?
Megawati akan menggambarkan bahwa Soekarnoisme dalam persepsi lain tadi. Sebab, Soekarnoisme itu sudah identik dengan Megawati.
Dalam persepsi yang keliru ini, bagi pendukungnya, kaum Marhaen, Soekarno tetap revolusioner. Namun, bagi bukan kaum Marhaen, catatan Tan Malaka dalam istilah “Grande-eloquence dan Grande-elegance”, bahwa Soekarno sebenarnya seorang kompromistik akan mendapatkan tempat lebih dalam pada sejarah.
Namun, sejatinya berbagai catatan langkah politik Megawati sebenarnya  menunjukkan Megawati semakin ideologis. Hal itu antara lain ditunjukkan dengan beberapa kadernya, seperti Risma dan Ganjar yang menjadi tokoh kaum Marhaen; keteguhunannya mendorong ideologi Soekarnoisme dan Trisakti jsebagai acuan partainya, serta mendesak pemerintah saat ini mengacu pada Trisakti: keinginannya agar sumber daya alam dan kekuasaan atas aset bangsa dikelola bangsa sendiri; dan sikapnya yang tidak mau diatur pemilik modal.
Akhirnya, rakyat menunggu keputusan dan sikap Megawati dalam beberapa hari ini. Memilih atau tidak memilih Ahok merupakan sejarah besar bagi masa depan Soekarnoisme nantinya.‎
‎Oleh Dr. Syahganda Nainggolan, Ketua Dewan Direktur Sabang Merauke Circle‎ (SMC)