KedaiPena.Com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bergerak cepat di awal tahun 2019 ini. KPK menangkap Bupati Mesuji Khamami dalam sebuah operasi tangkap tangan (OTT).
Khamami sendiri menjadi kepala daerah ke-39 yang terjaring OTT KPK. Khamami ditangkap bersama tujuh orang lain. KPK menyatakan kedelapan orang itu diamankan di tiga lokasi di Lampung.
Terjaringnya Khamami beserta 38 bupati lainya menandakan buruknya sistem demokrasi yang dianut oleh Indonesia saat ini. Besaran biaya kampanye sebelum menjabat disinyalir menjadi alasanya.
Tokoh Nasional Rizal Ramli menjadi salah satu pihak yang mengkritik sistem demokrasi yang dianut oleh Indonesia.
Rizal menyebut maraknya kepala daerah dan anggota legislatif yang terjaring oleh KPK disebabkan lantaran sistem demokrasi dianut saat ini sudah sarat nuansa kriminal.
Eks penasehat ekonomi PBB ini sedianya juga sudah pernah menawarkan solusi untuk menekan tingginya OTT korupsi yang menjaring kepala daerah dan anggota legislatif.
Gagasan itu digaungkan oleh RR, begitu ia disapa, baik saat ia menjabat atau pun berada diluar pemerintahan
Seperti pada tahun 2016 saat RR masih menjabat sebagai Menteri Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya, dirinya pernah mengungkapkan bahwa Indonesia telah kehilangan ruang bagi orang-orang yang memiliki idealisme, intelektualitas dan skill.
Dalam Pembukaan Konvensi Anti Korupsi Pemuda Muhammadiyah tahun 2016, kala itu RR secara terang-terangan menyebut bahwa keberadaan orang-orang yang memiliki idealisme, intelektualitas dan skill telah hilang karena sistem demokrasi kriminal.
“Di dalam demokrasi kriminal itu, tidak ada tempat untuk kelompok idealis, tidak ada tempat untuk kelompok intelektual,” kata RR kala itu.
Rizal mengungkapkan tingginya biaya untuk menjadi anggota legislatif dan kepala daerah menjadi faktor maraknya tindakan korupsi saat ini.
Kondisi itu pun, menurut Rizal, membuat calon-calon anggota legislatif atau pejabat daerah yang idealis dan memiliki integeritas tinggi tersingkir dengan sendirinya.
“Karena kalah sama yang punya uang,” kata Rizal, doktor ekonomi dari Boston University itu.
Solusi untuk mendorong calon-calon berintegritas itu, menurut Rizal, dapat dijawab dengan pemberian dana oleh pemerintah bagi partai politik.
Ini pun dalam rangka mencegah budaya korupsi di Indonesia yang melibatkan orang-orang di lingkungan partai politik. Dana itu juga, kata dia, dapat digunakan untuk kaderisasi partai politik.
“Satu tahun cukup Rp15 triliun,” tegas Gus Romli, begitu ia disapa kalangan nahdliyin.
Rizal juga menginginkan agar politik uang tidak mengalahkan para kandidat yang memiliki kompetensi untuk menduduki kursi di pemerintahan ataupun legislatif.
“Politik uang hanya bisa dikalahkan dengan uang yang lebih besar. Tapi juga bisa dikalahkan dengan militansi dan keberpihakan pada rakyat,” tandas Rizal.
Usulan RR soal model pembiayaan parpol ini sendiri sedianya sudah pernah diapresiasi oleh Ketua KPK Agus Rahardjo. Ia mendukung dan setuju dengan ide Rizal Ramli yaitu parpol dibiayai Negara.
“Ini penting untuk mengubah demokrasi kriminal menjadi demokrasi amanah dan transparan sehingga demokrasi bekerja untuk semua rakyat, bukan hanya untuk para elit,” kata Agus dalam kesempatan yang sama.
Soal jumlah, ia menegaskan Rp15 triliun dalah hal yang kecil. Karena kalau 1 persen dari APBN Rp2.100 triliun sudah Rp21 triliun. Hal yang bagus jika kehilangan 1 persen dari APBN tapi bisa menekan korupsi hingga 45 persen.
“Dengan ini pembiayaan parpol jadi lebih sehat, rasional dan terhindar dari kepentingan. Dan yang paling penting membuka ruang bagi orang yang berintegritas, jujur, untuk masuk menjadi pejabat publik dan politisi,” tandas lanjut Agus.
Selain itu, dia pun menegaskan bahwa seluruh parpol musti antikorupsi, dilarang kolusi-korupsi, taat hukum, taat asas, disiplin, transparan, akuntabel dan diaudit BPK/KPK setiap tahun dan audit ini mutlak karena itu uang rakyat.
“Nanti KPK dengan perguruan tinggi yang menyuarakan. Kita menyuarakan agar pemerintah dengar. Kalau politikus jangan menyuarakan agar enggak di-bully,” kata Agus Rahardjo.
Laporan: Muhammad Hafidh