PADA tanggal 4 Juli 2018, Bumi Serambi Mekah digemparkan dengan penangkapan Gubernur yang baru setahun terpilih, Irwandi Yusuf dan Bupati Bener Meriah, Ahmadi.
Keduanya diamankan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan korupsi Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) Tahun Anggaran 2018.
Uang senilai Rp 500 juta menjadi komitmen fee agar memudahkan bancakan anggaran pada proyek infrastruktur yang dibiayai oleh DOKA.
Irwandi Yusuf merupakan Gubernur Nangroe Aceh Darusalam 2 Periode yaitu pada periode 2007-2012 dan 2017-2022, sedangkan Ahmadi merupakan Bupati Bener Meriah yang terpilih pada tahun 2017, ia pun termasuk sebagai Kepala Daerah termuda di Indonesia.
Namun sayang sekali, kedua pemimpin bagi masyarakat Aceh harus berurusan dengan KPK karena kasus Korupsi, Korupsi Dana Otonomi Khusus yang diperjuangkan dalam Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki tahun 2005.
Dana Otsus menurut amanat Undang-Undang No 16 tahun 2006 tentang tentang Pemerintahan Aceh (Selanjutnya disebut UUPA), dana Otsus dialokasikan sebesar 2% dari plafon Dana Alokasi Umum (DAU) nasional hingga 2022 dan sebesar 1% dari Plafon DAU sepanjang 2023-2027.
Masih dalam UUPA, peruntukan Dana Otsus difokuskan pada ditujukan untuk membiayai pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan.
Seknas Fitra memandang korupsi dari DOKA tidak saja menciderai amanat dan semangat rekonsiliasi Aceh-Indonesia yang dituangkan dalam MoU damai di Helsinski namun juga mengabaikan hak-hak dasar (kesehatan, pendidikan, dan pengentasan Kemiskinan) rakyat Aceh yang sampai ini masih termasuk pada Provinsi tertinggal. Sungguh memprihatinkan.
Polemik Tata Kelola Dana Otsus
Kasus suap yang menimpa Irwandi Yusuf dan Ahmadi dapat dijerat dengan pasal 5 ayat (1) a atau huruf b atau pasal 13 UU no. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah mejadi UU No 20 tahun 2001.
Sedangkan Irwandi Yusuf sebagai pihak penerima disangkakan melanggar pasal 12 huruf a atau huruf b atau pasal 11 UU no. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah mejadi UU No 20 tahun 2001.
Kasus korupsi dalam modus suap ini merupakan letupan akibat pengeolaan dari Dana Otsus yang penuh lubang. Tidak hanya di Provinsi Aceh, baik di Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat, problem tidak tepat sasaran peruntukan dana Otsus masih menjadi polemik utama yang saban tahun dibicarakan namun tidak ada pemecahan masalahnya.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dana Otsus di APBN 2017 sebesar Rp 19,5 triliun. Sementara itu, di APBN 2018 jumlahnya naik menjadi Rp 21,1 triliun, untuk Provinsi yang memiliki Otonomi Khusus.
Banyak faktor yang mendorong mengapa dana otsus pada akhirnya hanya dinikmati oleh segelintir pihak dari mulai mentalitas kelapa daerah yang masih labil dilimpahi dana besar, proses perencanaan yang buruk, pengawasan yang lemah hingga informasi yang tidak sampai pada masyarakat sehingga masyarakat dibiarkan tidak tau untuk menghindari tuntutan macam-macam dari masyarakat.
Jika berbicara regulasi, telah jelas diatur bahwa peruntukan dana Otsus (harus) mengena pada kepentingan masyarakat melalui pembangunan fisik dan penguatan ekonomi masyarakat, namun apabila pengawasan masih lemah dan sistem pembagian dana Otsus masih tidak juga menampakan ketegasannya maka jangan kita terkejut, bahwa kasus korupsi Dana Otsus tidak akan menjadi yang terakhir.
Dana Otsus dalam Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA) sebagai sebagai sumber pemasukan bagi Provinsi Aceh yang mana menurut Qanun 2/2013, alokasi pendanaannya 60 persen provinsi dan 40 persen kabupaten/kota dengan menggunakan mekanisme transfer langsung ke Kabupaten/Kota.
Namun ketentuan dari Qanun tersebut terindikasi tidak sesuai dengan regulasi dari Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Artinya secara regulasi pengalokasian dana Otsus pun tidak sesuai dengan regulasi diatasnya.
Selain itu pengelolaan dana otsus masih belum memiliki rumusan, rencana induk yang akan menjadi acuan dalam implementasi kegiatan. Proses perencanaan pengelolaan Dana Otsus dimulai melalui Musrenbang namun pada kenyataanya Musrebang masih belum mampu menangkap usulan masyarakat sehingga perencaan pembangunnya pun acapkali tidak tepat sasaran.
Selain itu, minimnya ruang partisipasi menegasikan transparansi peruntukan dana Otsus tersebut, akibatnya dana Otsus menguap tak jelas.
Potensi Koruptor yang lahir Setelah Pilkada
Selain polemik tata keloa dana Otsus, persoalan mendasar lainnya proses politik dalam menentukan Kepala Daerah. Proses demokrasi melalui Pilkada masih dianggap sebatas kontentasi perebutan kekuasan, sehingga mindset yang tercipta adalah kalah menang, mengupayakan segala kemenangan secara maksimal, tak jarang menghalalkan segala cara.
Tentu, dengan semangat sapujagat dengan berotenasi pada kemenangan an sich berpotensi menegasikan tujuan dari proses berdemokrasi tersebut, menjaring pemimpin rakyat, dan kader bangsa.
Akibat dari penafsiran dan orientasi yang salah pada Pilkada, tidak mengejutkan apabila paska Pilkada yang dilahirkan adalah para koruptor. Partai sebagai ruang pendidikan politik seringkali belum mempersiapkan kader-kader yang matang baik secara mental dan keteguhan membangun bangsa.
Persoalan ini menjadi Pekerjaan Rumah (PR) bagi partai politik sebagai ruang politik dalam mengakses kekuasaan baik di daerah dan Pusat, untuk lebih melahirkan kader-kader yang tidak silau pada kekuasaan.
Selain itu, pelibatan rakyat yang dieluk-elukan pada saat kampanye kemudian dicampakkan setelah Pilkada merupakan adigum klasik yang sangat relevan dalam konteks realitas. Oleh karena itu, memposisikan rakyat sebagai subjek dalam menciptakan tata kelola pemerintahan tidak cukup mengajak rakyat untuk hadir ke TPS namun juga melibatkan rakyat pada proses perencanaan dan penganggaran, melibatkan rakyat dalam proses implementasi dan melibatkan rakyat pada saat pertanggung jawaban.
Kasus pengeolaan dana Otsus baik di Aceh, Papua Barat, dan Papua menjadi cerminan, sekalipun dana Otsus telah sangat besar digelontorkan pada daerah namun masih dapat dijumpai persoalan kemiskinan, gizi buruk, dan persoalan sosial lainnya.
Melihat persoalan Politik Anggaran yang semakin akrab dengan penyalahgunaan, maka Fitra memberikan rekomendasi pada Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan dan Pemerintah Daerah secara Khusus dan Pemerintahan dan masyarakat Secara umum, untuk memperbaiki regulasi yang mengatur terkait peruntukan alokasi dana Otonomi Khusus, agar penggunaannya bisa lebih termonitoring.
Awasi penggunaan Dana Otonomi Khusus secara komperhensif, sistematis dan massif agar peruntukan dana Otsus benar-benar sampai pada masyarakat.
Hukum semaksimal mungkin koruptor, khususnya yang mengkorupsi dana otonomi khusus, sebab peruntukan dana Otsus sepenuhnya dan sebaik-baiknya diperuntukan bagi pemenuhan hak-hak dasar masyarakat.
Jadikan pengalaman korupsi di Aceh, pengalaman buruk kasus Gizi Buruk di Papua sebagai bahan evaluasi Pemerintah dalam mengalokasikan Dana Otonomi Khusus.
Dorong pemerintah daerah untuk dapat pengelolah APBD dan dana transfer daerah secara transparan, akutabel, dan partisipatif.
Oleh Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, Yenny Sucipto