Artikel ini ditulis oleh Bivitri Susanti, Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera.
Hukum seharusnya dibuat untuk menyeimbangkan situasi antara penguasa dan warga biasa. Namun, konsepsi awal tentang negara hukum itu buyar dengan adanya fakta-fakta politik tentang pembuatan hukum
Apa yang lebih berbahaya daripada penguasa yang berkuasa politik dengan peluru dan tank? Jawabnya: penguasa yang tengah menyalahgunakan kekuasaannya untuk mengeruk keuntungan dengan menggunakan perangkat hukum. Situasi ini lebih berbahaya karena banyak di antara kita tak merasakan ketidakadilan ini karena semuanya dibungkus rapi sebagai produk hukum.
Hari-hari ini kita disuguhi berbagai isu hukum yang kontroversial. Seperti lahirnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) tentang Cipta Kerja dan penggantian Hakim Konstitusi Aswanto di tengah jalan karena putusannya dianggap melawan keinginan pembuat undang-undang. Dua peristiwa itu tampak dikeluarkan dalam bentuk hukum, bukan melalui kekerasan fisik atau todongan senjata. Namun, di sisi lainnya terlihat jelas pelanggaran terhadap moralitas konstitusi dan praktik demokrasi.
Dalam kasus Perppu Cipta Kerja, misalnya, sebuah fasilitas hukum yang dimaksudkan untuk mengatasi kegentingan memaksa dikeluarkan semata-mata untuk ”memberikan kepastian hukum bagi investor” (kutipan dari Konferensi Pers Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, 30 Desember 2022). Sementara ’kegentingan’ yang dijadikan alasan adalah krisis ekonomi, bukan ancaman di depan mata (immediate threat) seperti yang disyaratkan dalam penerapan hukum tata negara darurat, seperti peperangan atau bencana alam.
Bentuk perppu tentu nyaman bagi pemerintah yang tak ingin kebijakannya dibahas terlebih dahulu dengan wakil rakyat dan di mata publik. Karena itulah, perppu sesungguhnya hanya boleh dikeluarkan dalam situasi yang benar-benar genting.
Namun, Perppu Cipta Kerja ini hanya salah satu gejala dari pelaksanaan otoritarianisme berbungkus hukum. Literatur politik dan hukum tata negara mencatat, fenomena seperti ini sedang menjadi tren global karena mudah disembunyikan. Fenomena ini dinamakan ”autocratic legalism”, yaitu penggunaan hukum untuk melegitimasi tindakan-tindakan yang tidak demokratis (Corales, 2015; Scheppele, 2018). Langkah awalnya adalah serangan yang terencana oleh penguasa terhadap institusi-institusi yang tugasnya mengawasi kekuasaan. Setelah semua batasan konstitusional dilonggarkan, penguasa akan dengan mudah menggunakan instrumen hukum sehingga tindakannya seakan-akan benar, padahal sebenarnya sudah melanggar prinsip negara hukum, bahkan ke arah otoritarianisme (Scheppele, 2018).
Di Indonesia, empat institusi pengawas kekuasaan sudah dilemahkan terlebih dahulu. Pertama, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sudah dilemahkan dan dipolitisasi sejak revisi Undang-Undang KPK pada 2019. Kedua, kelompok ’oposisi’ di DPR yang sudah dilemahkan melalui perekrutan kabinet dan cara-cara legal lainnya. Ketiga, masyarakat sipil yang terus-menerus dilemahkan dengan cara-cara legal, serangan fisik, ataupun melalui teknologi, seperti peretasan dan doxing. Akhirnya, fenomena ini digenapkan dengan diserangnya independensi Mahkamah Konstitusi, dengan penggantian hakim di tengah jalan, yang akan pula dilegalkan dengan revisi UU Mahkamah Konstitusi yang akan segera dibahas.
Saat semua instrumen pengawasan lemah, kekuasaan tidak lagi bisa dikontrol. Maka, kebijakan yang hanya menguntungkan pemerintah atau pihak-pihak yang dekat dengan pemerintah akan lebih mudah dihasilkan, seperti Perppu Cipta Kerja, Undang-Undang Ibu Kota Negara, serta Undang-Undang Mineral dan Batu Bara. Yang tertindas adalah orang-orang yang tidak punya kekuasaan dan tidak pula mempunyai sumber daya yang bisa digunakan untuk memuluskan banyak hal.
Jangan lupa, atas nama hukum pula, mudah atau tidaknya hak-hak tertentu didapatkan juga ditentukan oleh keberadaan dokumen. Sementara dokumentasi hak juga sering kali harus ”dibeli”. Hak atas tanah adat, misalnya, yang dengan mudah digilas oleh perusahaan perkebunan, semata karena masyarakat adat tak memiliki sumber daya untuk mendokumentasikan haknya. Bahkan, sebagian pengusaha bisa ”membeli” sertifikat melalui mafia tanah.
Padahal, hukum seharusnya dibuat untuk menyeimbangkan situasi antara penguasa dan warga biasa. Karena kekuasaan berpotensi digunakan secara berlebihan, hukum dikonsepkan sebagai fasilitas untuk melindungi hak dan berlaku bagi semua orang, termasuk penguasa. Begitulah negara hukum dikonstruksikan. Negara hukum atau rechtsstaat atau rule of law sebenarnya berbicara tentang hak-hak asasi manusia yang harus menjadi landasan bernegara serta pembatasan kekuasaan yang berlebihan oleh penguasa. Negara hukum bukan hanya berarti negara yang diatur oleh hukum. Karena itu pula, yang dilawankan dengan frasa ’negara hukum’ (rechtsstaat) adalah ’negara kekuasaan’ (machtstaat).
Namun, konsepsi awal tentang negara hukum itu buyar dengan adanya fakta-fakta politik tentang pembuatan hukum. Ketika proses membuat hukum didominasi oleh politisi yang ingin mengeruk keuntungan dari kebijakan yang dibuatnya sendiri, yang lahir hanyalah hukum-hukum yang melayani kepentingan-kepentingan itu.
Apabila perppu seperti Perppu Cipta Kerja seperti ini didiamkan, jangan kaget jika banyak hal yang dibicarakan, tetapi dirasa tidak mungkin secara konstitusional akan terbit tiba-tiba. Isu-isu penundaan Pemilihan Umum 2024 dan amendemen untuk tiga periode jabatan presiden bisa saja lolos. Politisi culas bisa tampil dengan rasa percaya diri maksimal apabila perlawanan terhadap otoritarianisme berbungkus hukum minimal.
[***]