KedaiPena.com – Tak hanya warga Bima, Nusa Tenggara Barat tapi warga Indonesia di luar NTB pun kaget dengan adanya video yang menunjukkan hamparan berwarna coklat seperti cappuccino yang muncul di Teluk Bima pada akhir April 2022.
Berbagai kemungkinan disampaikan oleh warganet. Mayoritas menyatakan hamparan coklat tersebut akibat bocoran produksi PT Pertamina, yang memiliki kilang di sekitar area tersebut.
Tapi benarkah hamparan coklat tersebut adalah cemaran minyak?
Peneliti Ahli Utama Bidang Oseanografi Terapan dan Manajemen Pesisir, Pusat Riset Iklim dan Atmosfer (PRIMA), Organisasi Riset Kebumian dan Maritim (ORKM), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Widodo S. Pranowo menyatakan sebelum memberikan kesimpulan bahwa Brown Substance atau yang bisa diterjemahkan sebagai zat yang berwarna coklat, yang terhampar luas di perairan Pantai Bima adalah limbah atau cemaran minyak, maka sebaiknya dilakukan pengambilan sampel dan dilakukan uji laboratorium.
“Untuk menguji apakah sampel tersebut adalah cemaran minyak maka harus dilakukan uji hidrokarbon seperti analisis rantai karbon jejak minyak dan kandungan Poli-Aromatik-Hidrokarbon (PAH). Dari uji ini nantinya akan diketahui jenis minyak apakah yang mencemari, dan bisa dicocokkan dengan jejak minyak yang dimiliki oleh Pertamina,” kata Widodo saat dihubungi, Sabtu (30/4/2022).
Umumnya bila memang zat coklat tersebut adalah cemaran minyak, menurut Widodo, maka biasanya bau minyaknya menyengat, apalagi dengan hamparan seluas tersebut.
“Namun apabila tidak ada tercium bau minyak, maka kemungkinan besar bukanlah cemaran tumpahan minyak,” ungkapnya.
Uji laboratorium yang lain yang perlu dilakukan terhadap sampel, lanjut Widodo, adalah uji senyawa organik dan senyawa logam berat, apa sajakah yang terkandung di dalam sampel zat coklat tersebut.
“Uji inilah yang akan menentukan apakah Brown Substance tersebut adalah senyawa organik yang dihasilkan dari biota atau mikro-organisme air tertentu, ataukah memang limbah yang tergelontor dari sungai dan/atau outlet pembuangan limbah yang bermuara di sekitar perairan pantai Kota Bima,” ungkapnya lagi.
Widodo menyampaikan hamparan luas Brown Substance di perairan pantai Kota Bima ini secara penampakan visual sekilas mirip dengan yang pernah terjadi di perairan Pantai Erdek hingga Perairan Marmara di Balikesir, Turki Barat sekitar 29 Mei 2021.
“Fenomena tersebut dikenal sebagai Sea Snot atau suatu fenomena anomali dimana perairan pantai diselimuti lendir yang luasannya ekstrim,” urai Widodo.
Ia menyebutkan untuk menentukan dugaan sumber pemicu atau penghasil dari Brown Substance tersebut, perlu dilakukan riset yang lebih komprehensif dengan melibatkan berbagai ahli, mulai dari ahli hidro-oseanografi, ahli oseanografi biologi yang mendalami mikrobiologi laut atau fitoplankton, ahli kualitas air, ahli minyak, dan ahli limbah bahan berbahaya beracun (B3), dan ahli cuaca dan iklim mikro.
Riset komprehensif ini sangat penting dan perlu dilakukan jika kemunculan Brown Substance ini adalah merupakan kemunculan perdana dari senyawa organik yang dihasilkan oleh biota/mikroorganisme laut.
“Dikhawatirkan, Brown Substance kemudian secara frekuentif bakal terulang kembali kemunculannya, apabila memang dipicu oleh adanya anomali kenaikan suhu permukaan laut lebih dari 0,5 derajat Celsius akibat dampak dari pemanasan global di masa mendatang. Sumber pemicu lainnya yang perlu ditinjau secara mendalam dan dipantau adalah kualitas air dan kualitas sedimen di perairan pantai Kota Bima, termasuk kondisi pengelolaan limbah domestik kota Bima dan juga limbah industri dan migas di sekitar Teluk Bima,” pungkasnya.
Laporan: Hera Irawan