Artikel ini ditulis oleh Abdul Rohman Sukardi, Pemerhati Sosial dan Kebangsaan.
Orasi. Itulah ketika Aidit dibawa ke dekat sumur tua di Boyolali. Setelah ditangkap dari persembunyiannya di Desa Sambeng. Belakang stasiun Balapan Solo. Tanggal 22 November 1965.
Rencananya Aidit dibawa ke Semarang untuk diadili. Akan tetapi oleh satuan-satuan militer dibelokkan di perjalanan. Dibawa ke Boyolali. Dihukum mati.
Sebelum di eksekusi, Aidit melakukan orasi berapi-api. Seperti dihadapan massa aksi. Membakar spirit revolusi. Sebelum akhirnya ditembak oleh tentara.
Siapa pengeksekusi Aidit, dijumpai beragam versi. Buku “Matinja Aidit Marsekal Lubang Buaja”, menggambarkan adanya saling mendahului antar satuan tentara. Buku itu diterbitkan Kropal Hazera Jakarta tahun 1967. Kemarahan tentara bisa dimaklumi. Pimpinan TNI AD dieksekusi secara kejam. Maka banyak yang ingin menuntut balas.
Yasir Hadibroto juga memberi testimoni. Melalui buku “Diantara Para Sahabat” Presiden Soeharto. Ia menulis dengan judul “Pak Harto Tangguh dan Berbobot”.
“Pak Harto mengirim telegram agar saya membawa Brigade Infantri IV/Diponegoro ke Jateng. Tanggal 12 Oktober saya menghadap di Kostrad”. Begitu tulis Yasir.
Yasir dan Brigadenya ditugaskan menyusul Sarwo Edie menumpas PKI di Jawa Tengah. Bulan berikutnya, 23 November 1965, Yasir menghadap Pak Harto di Gedung Agung Yogyakarta. Ia melaporkan kesalahannya telah membunuh Aidit.
“Kalau saya dianggap salah oleh Bung Karno dan mau dihukum gantung, saya sudah siap untuk dihukum. Bukan orang lain. Pak Harto tidak pernah memerintahkan membunuh Aidit. Eksekusi itu saya lakukan dengan inisiatif sendiri”. Begitu penuturan Yasir.
“Pertama, rasa dendam saya terhadap orang-orang PKI Madiun 1948. Saya hampir mati dibantai mereka. Kedua, hati nurani saya mengatakan, jika Aidit ini saya tawan dan saya serahkan hidup-hidup, nanti sudah pasti ia akan bebas. Kalau bebas, perjalanan sejarah akan menjadi lain. Saya melihat mati hidupnya Aidit berkaitan erat dengan persoalan sejarah bangsa Indonesia. Menurut saya lebih baik Aidit dihukum mati lebih dahulu. Kalau saya nanti dianggap salah, saya bersedia mati untuk itu, yang penting sejarah bangsa ini tertolong”.
Begitu lanjut Yasir memaparkan peristiwanya. Memberi alasan kenapa ia mengeksekusi Aidit.
Apakah benar ia menginstruksikan pasukannya membunuh Aidit. Atau ia melidungi anak buahnya yang berebut mengeksekusi Aidit. Tidak tertulis dalam catatan itu. Ia melapor kepada Pak Harto dan mengaku bertanggung jawab.

“Tidak! Saya yang akan mempertanggungjawabkannya”.
Begitu jawaban tegas dari Pak Harto. Ia yang memerintahkan pasukan Yasir menumpas PKI di Jateng. Ia dengan kesatria mengambil alih tanggung jawab. Yasir dilindungi dari beban tanggung jawab.
“Saya berhutang nyawa sama Pak Harto”. Tulis Yasir lagi.
Apa kaitan kisah ini dengan koruptor? Ialah kekepercayaan diri pelaku kejahatan mengingkari kejahatannya.
Petualangan Aidit menyebabkan pimpinan TNI AD terbunuh. Ia justru berorasi di hadapan tentara yang batinnya terluka. Oleh terbantainya pimpinan puncak TNI AD.
Dengan tanpa beban, tanpa rasa bersalah. Mengilustrasikan dirinya sebagai pahlawan. Tentu memancing emosi satuan-satuan tentara itu.
Kini koruptor juga melakukan hal yang sama. Momentum pendek berbicara dihadapan media dimanfaatkan “orasi singkat”. Membuat framming dirinya dikriminalisasi, teraniaya. Menggambarkan diri layaknya Diponegoro ditangkap kompeni Belanda. Pahlawan bangsa.
Publik dibuat iba. Atau di-framming untuk iba. Oleh kejahatan penegak hukum melakukan kriminalisasi terhadap dirinya. Kinerja aparat hukum bertahun-tahun menjadi diragukan.
Mungkin jika Aidit berada di jaman medsos, orasinya akan viral. Ia diragukan sebagai otak persekongkolan jahat 1 Oktober 1965.
Tanpa magis orasinya saja, para pendukung dan simpatisannya mampu menggiring sebagian elemen bangsa percaya. Jika Aidit bukan tokoh jahat. Bukan aktor utama 1 Oktober 1965.
Kini diperlukan sosok-sosok tegas dan berani seperti Sarwo Edhie, Yasir Hadibroto, Soeharto. Di medan penegakan hukum.
Tanpa pandang bulu “mengeksekusi” para koruptor. Melalui ketegasan dan keberanian penegakan hukum. Menyelamatkan rakyat dan bangsa.
[***]