Artikel ini ditulis oleh Dwi Kuswantoro, Ketua DPW Partai Ummat DIY.
Berita malam yang baru saya baca pagi ini (13/1/2023) atas meninggalnya salah satu mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) bernama Nur Riska Fitri Aningsih betul-betul menyayat hati kemanusian kita.
Mahasiswi asal Purbalingga Jawa Tengah ini meninggal disebabkan depresi karena ketidakmampuannya membayar uang kuliah tunggal (UKT) yang terlalu tinggi.
Semakin membuat ‘marah’ jiwa kemanusiaan kita, karena ini terjadi di kampus yang menggunakan sumber anggaran negara (APBN). Sedangkan sudah sangat jelas amanah konstitusi kita yang tertuang dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945, kenapa negara Republik Indonesia dibentuk, yaitu untuk bisa melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pendidikan adalah kewajiban negara, keadilan sosial adalah kewajiban negara. Tapi mengapa biaya pendidikan tinggi justru hadir di kampus negeri yang anggarannya dari anggaran negara?
Reformasi Pendidikan
Pikiran kemudian menerawang jauh dan teringat dengan satu puisi WS Rendra (1977) yang berjudul Sajak Sebatang Lisong.
“Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku membentur meja kekuasaan yang macet dan papantulis para pendidik yang terlepas dari persoalan kehidupan”
Pendidikan tidak boleh lepas dari persoalan kehidupan dan kemanusiaan. Pendidikan adalah untuk meninggikan derajat kemanusiaan, bukan justru menjadi ajang pembantaian dan mematikan kemanusiaan itu sendiri.
Jujur harus kita akui pendidikan kita saat ini lebih mengadopsi konsep sebagai sebagai industri. Sebagai pendekatan industri pendidikan lebih mengendepankan proses produksi yang berbasis input-output, sehingga pada akhirnya manusia sama nilainya dengan sebuah barang hasil produksi.
Kejadian ini memberikan tanda kita sebagai warga bangsa, bahwa dunia pendidikan kita masih menyisakan banyak masalah yang sangat serius, sehingga perbaikan menjadi harga mati. Perbaikan tidak cukup secara sektoral, tetapi harus menyeluruh atau lebih tepatnya adalah perlu reformasi sistem pendidikan kita.
Perbaikan sistem pendidikan bukan hanya persoalan proses dan prosedur, tetapi lebih jauh dan subtansi yaitu tentang esensi konsep pendidikan untuk memajukan kemanusiaan. Cukup sudah dan jangan sampai berita-berita sejenis muncul dari dunia pendidikan kita dalam waktu yang akan datang.
Empati sosial harus hadir dalam ruang pendidikan kita. Para guru besar, doktor dan master pendidikan di kampus-kampus harus bersama-sama mendiskusikan untuk merekonstruksi arah pendidikan kita sebelum terlalu jauh tersesat. Pendekatan industri yang menjadikan manusia menjadi bagian dari faktor produksi dan terlepas dari esensi pendidikan untuk memanusiakan manusia harus diakhiri.
Tagline Merdeka Belajar yang jadi arah pendidikan hari ini, kalau pada akhirnya hanya meningkatkan gap yang membuat orang miskin tidak boleh sekolah, orang miskin tidak boleh kuliah; harus segera disudahi. Cukup satu saja ananda Nur Riska Fitri Aningsih saja sebagai martil, untuk memukul kesadaran mata hati dan pikiran semua anak bangsa.
Teruntuk keluarga Almarhumah, Insya Allah Jannah untuk ananda; karena ananda telah menjadi korban untuk martil perbaikan dunia pendidikan Indonesia.
Yogyakarta, 13 Januari 2023
[***]