Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
Ironi Indonesia. Rakyat masih terjajah. Setidaknya, dalam bidang ekonomi, yang dikuasai dan dinikmati oleh kaum ‘borjuis’ oligarki. Mereka menguasai sumber kekayaan alam dan sumber ekonomi lainnya.
Pandemi COVID-19 bagaikan dua sisi mata uang. Di satu sisi, pandemi merupakan bencana bagi kebanyakan masyarakat. Mereka dicekam ketakutan, kehilangan sanak saudara serta kerabat, dan banyak dari mereka kehilangan mata pencaharian.
Di lain sisi, pandemi COVID-19 merupakan ‘kesempatan’ menambah kekayaan bagi segelintir orang ‘borjuis’ oligarki.
Pertama, pandemi digunakan sebagai alasan untuk menambah defisit APBN dalam jumlah sangat besar. Defisit APBN 2020 mencapai hampir Rp956 triliun, dan defisit APBN 2021 mencapai Rp784 triliun.
Artinya, nilai proyek yang dibiayai APBN meningkat drastis, baik terkait proyek bantuan sosial maupun proyek atas nama pemulihan ekonomi nasional, seperti Kartu Prakerja, Infrastruktur termasuk IKN, Kesehatan termasuk PCR, Sektor Keuangan, dan lainnya. Proyek-proyek tersebut tentu saja sangat menguntungkan bagi ‘borjuis’ oligarki yang mengerjakan proyek-proyek tersebut, dan membuat mereka menjadi tambah kaya.
Kedua, pandemi membuat kebijakan moneter global menjalankan kebijakan suku bunga rendah dan quantitative easing, membuat harga komoditas seperti mineral, batubara, minyak sawit dan komoditas perkebunan lainnya naik tajam. Hal ini membuat kekayaan ‘borjuis’ oligarki penguasa tambang dan perkebunan meningkat tajam.
Menurut berita di CNBC 13/12/2022, kekayaan salah satu raja Batubara Indonesia dengan luas konsesi mencapai 81.265 hektar, Low Tuck Kwong, naik Rp148 triliun dalam satu tahun, atau naik 4 kali lipat dibandingkan 2021.
Melalui Batubara, Low Tuck Kwong menjadi orang nomor 2 terkaya Indonesia, naik dari peringkat 30, dan kemudian peringkat 18 pada tahun 2021.
Luar biasa. Pandemi telah membawa ‘borjuis’ oligarki berhasil menambah kekayaannya dengan jumlah yang sangat tidak normal. Negara sebagai pemilik kekayaan alam hanya mendapat sebagian kecil saja.
Ketika ‘borjuis’ oligarki berpesta pora, rakyat sebaliknya menahan derita. Pajak naik. Harga pangan naik. Harga minyak goreng melonjak. Yang lebih mengenaskan, harga BBM, Pertalite dan Solar, juga dinaikkan.
Cara menaikkan harga BBM sangat tidak manusiawi. Melalui ‘propaganda’ informasi yang akhirnya terbukti tidak benar. Katanya, subsidi mencapai Rp500 triliun. Bahkan Rp700 triliun. Yang semuanya terbukti tidak benar.
Hasilnya mengenaskan. Jumlah penduduk miskin naik, di tengah orang kaya semakin kaya, di tengah Pendapatan Negara melonjak tajam, naik sekitar 40 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Namun demikian, subsidi BBM dipangkas, membuat kemiskinan meningkat.
Jumlah penduduk miskin menurut BPS naik 200.000 orang dalam 6 bulan, dari 26,16 juta orang pada Maret 2022 menjadi 26,36 juta orang pada September 2022.
Garis kemiskinan menurut BPS mempunyai pendapatan di bawah Rp487.908 per orang per bulan. Sangat rendah, termasuk kemiskinan absolut.
Sedangkan garis kemiskinan menurut Bank Dunia, dengan pendapatan di bawah Rp1,1 juta per orang per bulan mencapai 167,8 juta orang pada 2021. Atau mencapai 60,7 persen dari populasi. Dengan kenaikan harga pangan dan BBM, angka kemiskinan ini sepertinya akan bertambah lagi.
Kondisi ini jelas sangat tidak adil. Kemakmuran hanya milik kaum ‘borjuis’ oligarki. Sedangkan kebanyakan rakyat tetap miskin, atau dimiskinkan.
Bukti pemerintah gagal mewujudkan Adil dan Makmur seperti diperintahkan konstitusi dan Pancasila.
[***]