KedaiPena.Com – Direktur Eksekutif Center for social, Political, economic and law studies (Cespels) Ubedilah Badrun menilai opsi pemerintah terkait dengan Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp15 triliun untuk menyelamatkan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) merupakan langkah keliru dan berbahaya.
“Kasus jiwasraya ini sesungguhnya mirip-mirip kasus perampokan triliunan rupiah di institusi ekonomi negara. Berbahaya jika negara melakukan langkah yang keliru apalagi melakukan bail out Rp15 triliun untuk membayar polis nasabah dan dengan motif menyelamatkan Jiwasraya,” ungkap Ubed kepada KedaiPena.Com, Selasa, (25/2/2020).
Tak hanya itu, lanjut Ubed, usulan tersebut juga diperburuk dengan kondisi keuangan negara dan regulasi yang memayungi usulan penyertaan modal tersebut.
“Uang darimana? Apa regulasinya? Ini belum ada argumentasi kokoh dan bahkan belum ada regulasinya. Sebab BUMN asuransi itu bukan bank,” tegas Ubed.
Hal lain yang membuat berbahaya, kaya Ubed, ialah soal penyelesaian secara bail in maupun bail out yang hingga hari ini belum mempunyai regulasi yang menguatkan.
“Berbahaya jika negara mengambil kebijakan tanpa argumentadi kokoh dan tanpa dasar regulasi,” ungkap Ubed.
Ubed menerangkan solusi likuiditas dan pembubaran Jiwasraya bisa menjadi pilihan yang cukup rasional dalam penanganan kasus tersebut.
“Tentu OJK harus secara serius menyelesaikan kasus ini dengan langkah langkah yang terukur. Jika tidak, ini bisa menimbulkan gejolak. Saya kira Presiden, Menteri Keuangan, Menteri BUMN, OJK dan DPR jangan abai dengan persoalan ini. Jika abai, dampaknya akan membahayakan,” tandas Ubed.
Untuk diketahui, Pemerintah membuka opsi PMN sebesar Rp15 triliun untuk menyelamatkan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan memenuhi kewajiban pembayaran polis. Ada 3 opsi yang diusulkan pemerintah untuk menyelamatkan asuransi plat merah tersebut.
Pertama ialah opsi berupa bail in yakni dukungan dana dari pemilik saham Jiwasraya. Pertimbangannya ialah dapat dilakukan pembayaran penuh maupun sebagian. Tapi, ada risiko gugatan hukum jika dilakukan pembayaran sebagian.
Kedua ialah opsi berupa bail out yakni dukungan dana pemerintah. Opsi ini tidak dapat dilakukan kepada Jiwasraya karena belum ada peraturan terkait baik dari OJK maupun KSSK.
Ketiga ialah opsi berupa likuidasi atau pembubaran perusahaan. Langkah ini harus dilakukan melalui OJK. Namun, memiliki dampak sosial dan politik yang cukup signifikan.
Dalam dokumen terkait dengan opsi itu juga diungkap struktur transaksi untuk menyelamatkan Jiwasraya. Secara berurutan, mulanya Jiwasraya akan melaksanakan transaksi jual beli aset properti dengan PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) yang nantinya jadi holding asuransi.
Target transaksi sebesar Rp1 triliun-Rp1,5 triliun untuk pembayaran utang klaim tradisional dan saving plan di tahun 2020.
Selanjutnya, investor strategis mengambil saham Jiwasraya di Lotus Putra, anak perusahaan Jiwasraya dengan target Rp2 triliun hingga Rp3 triliun yang direncanakan pada tahun ini.
Tidak hanya itu, ada tiga alternatif yang disiapkan pemerintah untuk pembayaran klaim yang dimulai pada tahun 2020.
Pertama, perlakuan yang sama terhadap seluruh tipe produk. Hal ini menimbang aspek legal, pembayaran polis tidak bisa dibedakan sehingga pembayaran dilakukan dengan cicilan yang sama.
Adapun skema pembayarannya, untuk produk tradisional, seluruh polis akan dibayarkan 5% di 2020 dan sisanya dicicil sampai 2024. Persentase dan pola yang sama diterapkan untuk saving plan.
Total dana yang dibutuhkan ialah Rp837 miliar yang terdiri produk tradisional Rp20 miliar dan saving plan Rp817 miliar. Dari situ maka sisa utang klaim dari 2021-2024 tersisa Rp15,9 triliun.
Sejalan dengan itu, dijelaskan juga pemenuhan equity gap Nusantara life. Dengan skema pembayaran pertama, maka jumlah aset yang dialihkan Rp 12,3 triliun dan promissory note BPUI Rp 9 triliun.
Total PMN dibutuhkan Rp 15 triliun terdiri dari PMN cash Rp 6 triliun-Rp 8 triliun dan PMN non cash Rp 7 triliun-Rp 9 triliun.
Laporan: Muhammad Lutfi