SINYALEMEN Panglima TNI Gatot Nurmantyo soal adanya mata-mata Kelompok Abu Sayyaf (Abu Sayyaf Group/ASG) di Indonesia, cenderung insinuatif. Adakah fakta pendukungnya? Lalu, apa perlunya dibuka ke publik? Itu akhirnya hanya menimbulkan keresahan dan kesan seolah kita hanya mencari kambing hitam atas kegagalan memberi rasa aman di wilayah perairan kita.
Karena sudah dibuka, Panglima harus bisa membuktikan tudingannya dan tunjuk hidung karena tentu saja jika dugaan itu benar, tak boleh dibiarkan dan hanya mengeluh kiri kanan. Bahkan jika itu ternyata berasal dari lingkungannya sendiri.
Selain itu, di era yang terbuka seperti saat ini, mendapat informasi-informasi strategis dan sensitif tak selalu memerlukan spionase. Sumber-sumber terbuka, seperti media sosial misalnya, kerap menyajikan ‘bocoran’ yang akurat.
Artinya pemerintah termasuk juga TNI dan para pemangku kepentingan di laut perlu ‘melek’ dan menertibkan asetnya soal pemanfaatan ruang komunikasi dan informasi terbuka. Contoh sederhana saja, seringkali informasi bersifat laporan informasi intelijen beredar dari grup ke grup di aplikasi Whatsapp misalnya.
ASG kiranya bukanlah organisasi yang punya kemampuan signifikan untuk sampai menempatkan mata-mata atau menggalang aset Indonesia untuk menyuplai informasi ke ASG.
Bahkan tampaknya, kemungkinan adanya oknum yang menjual informasi untuk sekedar cari untung, justru lebih besar daripada peluang adanya mata-mata yang memang bekerja untuk kepentingan Abu Sayyaf.
Kapolri Tito Karnavian mengakui bahwa pada tahun 2011-2012 pernah ada orang asing ditangkap di Manado dan terdeteksi sebagai orang yang berhubungan dengan ASG.
Namun dalam konteks suplai informasi penting, tentu saja dibutuhkan kehadiran ‘orang dalam’. Nah kalaupun benar ada, ini tampaknya sekedar aksi cari untung belaka dengan memanfaatkan kelemahan dalam keamanan laut.
Jika itu dilakukan oleh sekelompok oknum internal, tentu saja ini tak bisa dibiarkan. Justru merekalah pelaku teror dalam arti yang sesungguhnya dan harus diperlakukan lebih keras, karena mereka merongrong keamanan yang mestinya menjadi tugas mereka untuk menjaganya.
Lebih dari itu, sinyalemen itu harus jadi momentum bagi Indonesia membenahi sistem dan perangkat keamanan lautnya. Kerawanan-kerawanan seperti kebocoran informasi dan praktik buruk di laut terutama akibat perilaku koruptif, harus dihentikan. Karena selama hal-hal itu masih berlangsung, tak butuh mata-mata macam James Bond untuk mengganggu Indonesia.
Oleh Khairul Fahmi, Institute for Security and Strategic Studies (ISESS)