KedaiPena.Com – Dalam beberapa waktu terakhir ini perekonomian Indonesia tidak mampu bangkit karena terus memakai haluan ekonomi ala IMF dan Bank Dunia. Paska era pemerintahan Gus Dur berakhir ekonomi Indonesia mengalami stagnasi berkepanjangan atau bahkan penurunan jika dibandingkan dengan laju ekonomi bangsa-bangsa di Asia lainnya.
Demikian dikatakan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar di Jakarta, Minggu (11/2/2018).
Misalnya saja akhir-akhir ini kebijakan tim ekonomi yang memakai rumus Bank Dunia tersebut seperti penumpukan utang, pengetatan anggaran, dan penguberan pajak telah memperparah kondisi ekonomi rakyat, pertumbuhan ekonomi hanya di kisaran 5 persen, sementara konsumsi masyarakat rumah tangga hanya tumbuh 4,95 persen.
“Bahkan saat ini, rasio pembayaran utang (debt service) terhadap ekspor Indonesia sudah lampu kuning yakni 39 persen, padahal batas aman mestinya diangka 25 persen,” kata dia.
Padahal di era Gus Dur waktu itu ( tahun 2000-2001) yang hanya berusia 21 bulan akibat gejolak politik, pertumbuhan ekonomi naik dari minus (-) 3 persen di era Habibie ke level 4,9 persen di era Gus Dur. Yang istimewanya lagi waktu itu era Gus Dur pertumbuhan ekonomi berkualitas dengan koefisien gini ratio 0,31, terrendah sepanjang 50 tahun terakhir dan juga satu-satunya pemerintahan yang mampu mengurangi utang sebesar US$ 4,15 miliar.
Di era Gus Dur, harga beras juga stabil, ketika masa paceklik gabah stok Bulog dilepas dan digiling di desa-desa untuk mencegah kenaikan harga beras. Bulog dilarang impor beras, hanya swasta yang boleh impor beras dan itupun dikenakan sedikit tarif (tanpa sistem kuota seperti sekarang ini).
Selain itu Cak Imin juga menyoroti daya beli kelas bawah yang rendah akhir akhir ini di bawah tim ekonomi sehingga menyebabkan Indonesia terus tertinggal dengan negara-negara tetangga lainnya. Padahal menurut Cak Imin jika saja tim ekonomi mampu meningkatkan daya beli dan pertumbuhan ekonomi, maka Cak Imin yakin Indonesia akan mampu tumbuh dan dapat mengejar ketertinggalan dengan negara-negara tetangga lainnya.
Pernyataan Cak Imin semakin menegaskan pandangan begawan ekonomi Rizal Ramli. Dalam berbagai kesempatan, eks Menko Perekonomian zaman Gus Dur itu menegaskan bahaya neoliberalisme yang menggerogoti perekonomian Indonesia.
RR, sapaan Rizal menilai, kebijakan yang berbau Neoliberalisme sesungguhnya adalah merupakan pintu masuk dari neo-kolonialisme. Dan kebijakan neoliberalisme ini adalah kebijakan yang dianjurkan oleh Bank Dunia/IMF
Padahal, kata Rizal, kebijakan neoliberalisme yang dianjurkan oleh Bank Dunia tersebut terbukti tidak ada negara di seluruh dunia yang mampu menjadi makmur dan sejahtera, misalnya negara di Amerika Latin. 
Selain itu, menurut Rizal Ramli, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat sulit dicapai karena struktur ekonomi Indonesia yang terjadi saat ini adalah menyerupai struktur “gelas anggurâ€.
Rizal Ramli menjelaskan, di bagian atas dari “gelas anggur†diisi oleh BUMN yang besar-besar, ada 160 BUMN (perusahaan non-independen) sekaligus diisi oleh 200 keluarga yang punya lebih 100 perusahaan. Sementara di bagian tengah (pegangan gelas anggur) mengecil dan tetap menjadi “kurus†itu menunjukkan hampir tidak adanya golongan usaha menengah yang harusnya bergerak secara independen.
Sedangkan di bagian bawah (kaki) dari gelas anggur tersebut menunjukkan terdapat 60 juta usaha kecil dan rumah tangga. Mereka yang berada di bagian ini kebanyakan memakan modal dan rata-rata harus merugi jika menggunakan accounting modern.
Dan struktur seperti ini (gelas anggur) sangat berbahaya buat demokrasi, tidak sustainable. Karena yang bagian atas makin kaya, dan bagian bawah makin miskin karena sangat sulit berkembang. Akhirnya terjadi kecemburuan ekonomi, kalau dicampur dengan faktor etnis, dicampur faktor agama, bahaya sekali, dan ini bisa menjadi sumber pemicu disintegrasi bangsa.
“Bahasa sederhananya, 20 persen bangsa kita sudah menikmati arti kemerdekaan, 40 persen yang sedang-sedang saja, yang 40 persen paling bawah ini belum pernah menikmati arti kemerdekaan, kemerdekaan ekonomi,†ujar Rizal Ramli seraya melontarkan pertanyaan, kok bisa suatu negara yang punya ideologi yang sangat bagus yang sangat indah, tetapi dalam kenyataannya rakyatnya tidak sejahtera (yang paling bawah) atau amat miskin.
Laporan: Muhammad Hafidh