Artikel ini ditulis oleh pengamat ekonomi, Salamuddin Daeng.
Indonesia memang tidak ada duanya di dunia sebagai negara dengan kekayaan energi terlengkap.
Ketika dunia Internasional atau negara negara tertentu terutama negara Eropa menolak batubara sebagai bahan bakar dikarenakan alasan deforestasi dan emisi yang besar, Indonesia masih punya cara lain untuk tetap bertahan dan bahkan melakukan ekspansi energi terutama Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Salah satu caranya adalah menanam tanaman energi sebagai pengganti energi primer batubara seperti jarak pagar, nyamplung dan kemiri.
Strateginya bisa macam-macam, bisa dengan melibatkan masyarakat secara luas untuk melakukan penanaman, bisa melalui kerjasama dengan swasta membuat hutan tanaman energi.
Juga bisa dikembangkan oleh pemerintah sendiri melalui BUMN energi yang ada, membentuk BUMN baru dan melibatkan koperasi koperasi serta masyarakat umum.
Cara yang lain selain menanam pohon tanaman energi yakni memanfaatkan sisa tanaman dari perkebunan sawit atau lainnya, memanfaatkan sampah organik rumah tangga, sampah organik industri, dan sampah organik lainnya.
Intinya potensi energi primer pengganti bahan bakar batu bara di Indonesia tersedia sangat besar, jenisnya sangat beragam, tersebar secara luas, boleh jadi terbesar di dunia.
Menurut sumber PLN, bio massa dapat menggantikan batubara secara keseluruhan meskipun harus dilakukan secara bertahap.
Disebutkan bawah semua PLTU PLN sudah diinject bio massa dengan persentase tertentu. Bahkan sudah ada yang berhasil 100 persen.
Saat ini masalah terletak pada rantai suplai atau supply chain-nya yang tidak kontinyu atau rata rata hanya bertahan dua hari.
Pernyataan ini menjawab adanya pandangan skeptis para pelaku sektor energi bahwa PLTU terutama milik PLN yang ada sekarang hanya bisa disuntik bio massa maksimum 10 persen dari kapasitas yang ada.
Meskipun ada dua pandangan berbeda tentang optimalisasi penggunaan bio massa pada pembangkit listrik batubara PLN, namun perbedaan itu terletak atau disebabkan oleh beberapa aspek.
Pertama, tingkat kalori bio massa yang cocok dengan pembakit yang ada. Kedua, residu bahan bakar bio massa yang berdampak pada boiler. Ketiga, pasokan bio masa yang memadai dan keberlanjutannya.
Kondisi yang menimbulkan perbedaan pasangan tersebut berada pada aspek teknis, yang semuanya dapat dicari jalan keluarkan melalui terobosan teknologi dan program yang tepat serta kerjasama multi stakeholder terkait.
Jadi suntik mati PLTU batubara bukanlah omon-omon yang tidak ada landasan teori dan prakteknya.
Semua ini dapat dijalankan oleh pemerintah, PLN, dengan melibatkan BUMN lain, sektor swasta, koperasi dan masyarakat umum.
Program bio massa bagi keberlanjutan PLTU PLN dan PLTU swasta lainnya adalah peluang terbesar yang dimiliki Indonesia mencapai net zero emission.
Intinya semua dapat dijalankan oleh negara sesuai dengan amanat UUD 1946 pasal 33 ayat 1, 2 dan 3 sekaligus sebagai landasan dalam menjalankan transisi energi secara berdaulat.
[***]