KedaiPena.Com – Persoalan yang ada dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja bukan hanya klaster ketenagakerajaan, melainkan ada banyak substansi yang bermasalah dan menimbulkan penolakan dari berbagai elemen bangsa, seperti masalah Pers, Jaminan Produk Halal, Lingkungan Hidup, Pendidikan, Hubungan Pusat dengan Daerah dan lain-lain.
Demikian disampaikan oleh Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Hidayat Nur Wahid saat menyampaikan pandangannya terkait dengan RUU Omnibus Law Cipta Kerja.
HNW begitu ia disapa menyebutkan dari sudut konstitusi dan hirarki perundangan salah satu yang bermasalah secara mendasar dan belum ada perbaikan hingga saat ini adalah Pasal 170 RUU Ciptaker yang memberi kewenangan berlebih kepada Pemerintah.
“Dengan melegalkan ketentuan yang tak sesuai dengan UUD NRI 1945, sekaligus men-downgrade dan merampas kewenangan konstitusional DPR dalam proses legislasi,” kata HNW, Selasa, (25/8/2020).
HNW menjelaskan, dalam ketentuan Pasal 170 ayat (1) yang kontroversial itu berbunyi, dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1).
Pasal tersebut berbunyi berdasarkan undang-undang ini pemerintah pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam undang-undang yang tidak diubah dalam UU ini.
“Sedangkan, Pasal 170 ayat (2) menyebutkan perubahan ketentuan dalam UU itu dilakukan melalui peraturan pemerintah (PP) dan untuk itu pada ayat (3) menyebutkan Pemerintah dapat berkonsultasi dengan Pimpinan DPR,” tegas HNW.
HNW menyebutkan, ketentuan itu jelas-jelas tak sesuai dengan Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang, dan peraturan pemerintah ditetapkan oleh Presiden.
“Sebagaimana untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya, bukan justru untuk mengubah undang-undang sebagaimana dalam RUU tersebut,” tegas dia.
Selain itu, kata dia, dalam pembuatan dan perubahan suatu UU, bila itu inisiatif dari Pemerintah, maka Pemerintah tidak cukup hanya dapat berkonsultasi dengan Pimpinan DPR sebagaimana dalam RUU tersebut
“Melainkan “wajib” membahasnya dengan DPR, bukan sekadar dengan Pimpinan DPR,” tegas dia.
Lebih lanjut, Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini meminta agar DPR cermat dan tidak tergesa-gesa dalam membahas RUU inisiatif Pemerintah ini.
Namun demikian, tegas dia, DPR juga harusnya menyelamatkan hak konstitusional DPR dalam kuasa membuat UU, dengan mengkritisi munculnya Pasal 170 RUU Ciptaker itu.
“Itu pasal yang sangat bermasalah, dan bertentangan dengan UUD, menumpuk kekuasaan makin dominan di eksekutif, dan potensial membajak hak konstitusional DPR dalam kuasanya membuat UU. Karenanya wajarnya DPR menolak, mengkoreksi dan mengusut tuntas,” ujarnya.
HNW menuturkan, awalnya pemerintah melalui menteri koordinator politik, hukum dan keamanan (menkopolhukam) menyebut isi pasal 170 itu salah ketik.
Namun, beberapa waktu lalu, salah seorang tim perumus RUU Ciptaker menyatakan bahwa saat disusun di pemerintah ketentuan itu bukan salah ketik, tetapi justru memang sengaja dibuat seperti itu untuk memudahkan pemerintah.
“Karenanya naskah RUU yang dikirim ke DPR juga tidak mengalami perbaikan pengetikan, bukti bahwa memang tidak ada salah ketik, melainkan bahwa ketentuan yang tercantum dalam pasal 170 RUU itu memang sikap dasar pemerintah,” tegas dia.
“Jelas kalau begitu patut diduga ada unsur kesengajaan untuk mendapatkan legitimasi RUU sekalipun melanggar UUDNRI 1945. Kesengajaan melanggar UUD seperti ini mestinya tidak dibiarkan, apalagi dilegitimasi dengan persetujuan. Padahal dengan tetap mengikuti ketentuan UUD secara benar, tetap saja spirit dan terobosan Cipta Kerja tetap bisa dilakukan,” sambung dia.
Oleh karena itu, lanjut HNW, sebagai bukti ketaatan kepada hukum dan UU, seharusnya penyimpangan seperti dalam pasal 170 itu ditolak, dikoreksi dan diusut tuntas.
“Bahkan, bila perlu risalah pembahasan ketika di internal pemerintah agar dibuka ke publik, untuk memastikan apakah benar-benar ada unsur kesengajaan itu, dan apa motifnya? Untuk memastikan bahwa terobosan untuk cipta kerja dan investasi justru perlu bersesuaian dengan aturan perundangan, tidak malah membuat celah pelanggaran, apalagi yang mendasar seperti dalam pasal 170 itu,” pungkasnya.
Laporan: Muhammad Lutfi