KedaiPena.Com – Kepala Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Sumatera Utara Abyadi Siregar mensinyalir kecurangan dan pelanggaran yang terjadi dalam proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di Sumatera Utara, khususnya di Kota Medan dilakukan secara terencana atau by design.
Hal itu terindikasi dari Petunjuk Tekni (Juknis) PPDB 2016 yang dikeluarkan Dinas Pendidikan Kota Medan. Misalnya dalam hal penjualan seragam sekolah dan penjualan buku pelajaran. Dalam Juknis itu disebutkan bahwa pengadaan seragam, buku dan kebutuhan sekolah lainnya dapat diperoleh siswa/siswi melalui koperasi sekolah.
Padahal itu jelas melanggar peraturan diatasnya, yakni PP No 17 tahun 2010 dan Permendikbud No 45 tahun 2014. Dalam PP dan Permendkibud itu ditegaskan bahwa sekolah dilarang mengadakan seragam, buku dan kebutuhan sekolah lainnya. Keperluan sekolah siswa sepenuhnya diserahkan kepada orangtua siswa.
“Kalau mengacu pada PP dan Permendikbud itu, pengadaan seragam, buku dan keperluan sekolah oleh pihak sekolah tidak dibenarkan. Tetapi Juknis yang diterbitkan Disdik Medan itu justru membenarkan sekolah melalui koperasi menjual seragam, buku dan keperluan lainnya. Inilah yang kemudian menjadi payung bagi sekolah menjual seragam, buku dan keperluan lainnya. Juknis ini menyesatkan karena bertentangan dengan peraturan diatasnya,†kata Abyadi Siregar, Minggu (7/8).
Abyadi menduga kuat, Juknis tersebut sengaja di desain dengan membenarkan sekolah melalui koperasi menjual seragam, buku dan keperluan lainnya meski dilarang oleh PP dan Permendikbud. Tujuannya tentu untuk mencari keuntungan.
“Dengan Juknis itulah, kini sekolah merasa bebas dan terlindungi menjual seragam, buku dan keperluan lainnya. Bahkan sepatu dan dasi pun di jual. Kita lihat saja berapa harga seragam dan buku dijual di sekolah, yang harganya jauh lebih mahal dibanding beli di pasar,†jelas Abyadi Siregar.
Abyadi menambahkan, selama Ombudsman Sumut membuka Posko Pengaduan PPDB, setidaknya 25 laporan masyarakat terkait kecurangan PPDB kepada Ombudsman Sumut.
Dari laporan itu, ada beberapa substansi yang dikeluhkan. Pertama adanya pemberian uang pelicin untuk dapat diterima di sekolah negeri dengan jumlah bervariasi antara Rp3 juta hingga Rp20 an juta.
Namun menurut Abyadi ini sulit dibuktikan karena saat Ombudsman melakukan klarifikasi ke sekolah terlapor, hal itu terang-terangan dibantah. “Ini sulit dibuktikan. Seperti orang buang angin, baunya saja yang ada. Tetapi kita yakin itu benar terjadi, tetapi sulit dibuktikan,†ucap Abyadi.
Masalah lain yakni terkait pungutan liar (Pungli) berupa uang pembangunan, uang insidentil, uang komite sekolah, dan lain sebagainya. Hal itu jelas melanggar Permendikbud No 44 tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan.
Dalam Permendikbud itu dijelaskan bahwa perbedaan pungutan dengan sumbangan. Pungutan adalah sesuatu yang mengikat dan ditentukan jumlah dan batas waktu pembayarannya. Sementara sumbangan dilakukan secara sukarela dan tidak mengikat. “Kita melihat yang terjadi di banyak sekolah di Medan selama ini adalah pungutan,†kata Abyadi.
Selanjutnya, masalah lain yang banyak dilaporkan masyarakat terkait PPDB adalah penggelembungan jumlah siswa atau penerimaan siswa sisipan, yaitu penerimaan siswa melebihi kuota yang telah ditentukan.
“Hal ini mengakibatkan sekolah membuka kelas baru, atau memadatkan kelas yang ada sehingga jumlah siswa per kelas atau rombongan belajar (Rombel) tidak sesuai ketentuan lagi,†katanya.
(Dom)