TOETY Azis tokoh pers perempuan yang bergulat dengan berbagai kesulitan tatkala mendirikan Surabaya Post, suatu hari memberikan petuah:
“Menerbitkan koran harus dengan tujuan luhur. Kalau cuma mau cari uang jangan terbitkan koran. Masih banyak bisnis lain yang terbuka luas”.
Surabaya Post pelopor koran sore.
Raja koran Jawa Timur era ‘70 sampai ‘80-an.
Terkenal dengan Jurnalisme Putih-nya. Jurnalisme yang tidak menyerang. Tiada gosip. No sensation. Tiada mengusik privasi. Tapi misi dan informasinya mengena sasaran.
Toety Azis and her husband, Abdul Aziz, wartawan Republiken. Ikut gerilya waktu pertempuran meletus di Surabaya.
Berpuluhtahun kemudian koran mereka redup ketika pada pertengahan ‘80-an muncul koran antitesis dari misi Surabaya Post, yang mengutamakan sensasi, infotainment, dan menyerobot pasar.
Persuratkabaran nasional (nenek moyangnya media televisi, radio, & online) lahir dari elan romantik, penuh bumbu cerita patriotik.
Sebelum ada perjuangan bersenjata, para tokoh pergerakan menggunakan koran sebagai alat perjuangan melalui tulisan.
Sukarno menulis, Agus Salim menulis, Tjokro menulis, semuanya menulis.
Wartawannya masuk keluar bui kolonial.
Hidup melarat karena lebih mengidentikkan diri sebagai pejuang ketimbang pedagang.
Aspek bisnis tentu saja perlu, tapi kewartawanan bukan jalan yang pas untuk mencari dan menumpuk kekayaan.
Kewartawanan adalah vocatio (panggilan). Pengabdian yang tiada henti-hentinya karena dituntun oleh naluri.
Di paruh pertama tahun ‘50-an, pers nasional dicirikan oleh personal journalism dengan tokoh-tokoh seperti Mochtar Lubis (Indonesia Raya), BM Diah (Merdeka), Suardi Tasrif (Abadi), dan Rosihan Anwar (Pedoman).
Mereka berteman tapi juga berantem, dan sanggup bersilat lidah dengan penguasa. Umumnya pengendali meja redaksi saat itu ialah person of character (insan yang berwatak).
Persuratkabaran nasional yang dulu debutnya patriotik, kini berakhir tragis. Hidup segan mati tak mau.
Bagaimana televisi?
Televisi di tanah air hari ini bagian dari oligarki, jadi sekedar pemotret obyek yang disukai rezim belaka, untuk mengalihkan pandangan publik dari realitas yang sesungguhnya terjadi di masyarakat.
Industri televisi dikuasai oleh para taipan yang jadi bagian dari oligarki politik hari ini, untuk saling melindungi kepentingan mereka.
Satu taipan dapat menguasai banyak televisi, dengan program-program norak serba tidak mendidik, yang juga mengajarkan pola hidup konsumtif “makanlah, belilah, tirulah… ”.
Di lapangan politik perannya megaphone rezim. Didukung oleh buzzersRp yang dikasih anggaran puluhan miliar, dengan tugas memecah-belah bangsa dan agama. Menghina ulama dan memfitnah tokoh-tokoh.
Mereka juga menghalangi tampilnya figur capres berciri problem solver, berintegritas, memiliki track record prestasi, yang sesungguhnya dibutuhkan Indonesia saat ini.
Televisi jadi pelengkap alat lainnya milik oligarki politik, yaitu begal Presidential Treshold, yang mensyaratkan ambang batas perolehan suara parpol dalam pemilu untuk dapat mengajukan presiden harus 20 persen.
Resah mengalami nasib seperti koran-koran dan merasa mulai tergusur oleh derasnya perkembangan media digital seperti YouTube, Instagram, Facebook, Twitter dan lainnya.
Sebuah stasiun televisi milik taipan yang menguasai banyak stasiun televisi lainnya (termasuk online dan koran), baru-baru ini menggugat Undang-Undang No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran ke MK, minta media digital “ditertibkan” agar tidak menyaingi televisi, terutama untuk kepentingan oligarki.
Musim berganti. Zaman bergerak.
Kini kita sedang menyaksikan tanda-tanda era oligarki televisi berdiri di tubir jurang.
Sinetron baru tentang kegelisahan oligarki, yang tiada perlu menguras air mata kita.
Oleh Arief Gunawan, Wartawan Senior