KedaiPena.Com – Persoalan darurat korupsi dan darurat oligarki itu menggambarkan sedang terjadinya darurat hukum. Hukum menjadi tumpul karena korupsi masih merajalela, dan penyebab hukum menjadi tumpul karena peran yang luar biasa dari oligarki.
Demikian hal itu disampaikan oleh Akademisi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun di Jakarta, ditulis Selasa (21/12/2021).
“Di saat korupsi merajalela, KPK dilemahkan oleh eksekutif dan legislatif sejak 2019. Dan kita sedang mengalami krisis keteladanan. Di ranah hukum dan elit politik kita mengalami krisis keteladanan, mereka mengambil kebijakan tidak memikirkan moralitas, tidak memakai sifat teladan dari para pendiri bangsa,” ucapnya.
Menurutnya, proses terjadinya darurat oligarki sesungguhnya dimulai dari konteks politik atau pemilu. Karena sistem politik Indonesia, modal menentukan segalanya.
“Sehingga siapa yang memiliki modal yang besar, dia yang memenangkan eksekuti. Dan pemilik modal besar secara finansial adalah kelompok oligarki. Dan jika oligarki memiliki eksekutif, legislatif, itu yang membuat oligarki besar. Itu yang membuat banyak UU yang berpihak pada oligarki,” tambahnya.
Di sisi lain, rakyat telah mengalami situasi yang tidak percaya pada elit kekuasaan. Rakyat sudah kesal dan benci dengan korupsi dan oligarki.
“Tapi, meskipun rakyat melakukan protes keras, tetap saja tidak didengar. Ini arogansi oligarki yang luar biasa mengabaikan hak-hak rakyat, kepentingan rakyat,” katanya.
Selanjutnya, ia mengatakan ada yang dapat dilakukan untuk melakukan perubahan ditengan terjadinya darurat hukum, darurat oligarki, dan darurat korupsi. Di antaranya melakukan gerakan struktural dengan memberikan edukasi kepada publik agar dapat mengerti keadaan bangsa saat ini.
“Publik mesti kritis melihat keadaan hari ini bahwa rakyat mengalami situasi. Ini sangat penting membangun sifat kritis publik, artinya kajian tidak boleh berhenti, diskusi oleh mahasiswa atau generasi Z. Ini tidak boleh berhenti,” imbuhnya.
Tidak hanya itu, dapat juga melakukan gerakan yang sifatnya struktural untuk mengingatkan elit kekuasaan yang berada di struktur kekuasaan. Baik itu terhadap Presiden, maupun anggota DPR di mana berada di struktur kekuasaan serta memiliki kewajiban untuk dapat membenahi persoalan tersebut.
“Presiden jangan diam dong kalau kemudian oligarki merajalela. Presiden jangan diam ketika korupsi merajalela, anggota DPR jangan diam ketika hukum sudah kacau. Jadi itu gerakan struktural mengingatkan elit kekuasaan untuk melakukan perubahan,” jelasnya.
Ia menyampaikan jika kedua hal tersebut telah di lakukan, namun tidak ada perubahan, bisa saja sebuah gerakan baru atau ‘social movement‘ menjadi gerakan baru yang revolusioner.
“Tentunya hal itu pun membuat rakyat marah, sehingga melakukan hal tersebut, maka tidak ada pihak yang dapat menghentikan kehendak yang dilakukan oleh rakyat dengan caranya mereka sendiri. Jadi gerakan revolusioner itu akibat dari mandeknya aspirasi publik, akibatnya kekuasaan tidak mau mendengarkan rakyatnya,” pungkasnya.
Laporan: Muhammad Lutfi