KedaiPena.Com – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu melakukan pengawasan lebih terhadap  BPR yang memiliki jumlah aset yang melampaui bank umum, padahal cakupan kegiatan dan ranah BPR jauh lebih kecil dibanding bank umum.Â
Demikian dikatakan Edy Sukarno, akademisi Perbanas Institute kepada KedaiPena.Com, di Jakarta, Rabu (18/1).
“Harus diawasi lebih, karena hal ini menandakan kondisi persaingan yang cenderung tidak sehat dan tidak seimbang antara BPR dan bank umum,” kata dia.
Di satu sisi, segmen market BPR, yaitu usaha mikro kecil menengah sudah mulai dijangkau oleh bank umum. Di sisi lain, terdapat peraturan yang membatasi cakupan kegiatan bank umum berdasarkan modal inti yang dimiliki.
“Cakupan itu yaitu Bank Umum Kelompok Usaha (BUKU), yang terdiri dari BUKU I, yaitu bank dengan modal inti kurang dari 1 triliun hanya dapat melakukan kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana dalam rupiah dan valas yang terbatas,” ia menambahkan.
Kemudian BUKU II, dimana bank dengan modal inti 1 triliun sampai kurang dari 5 triliun memiliki cakupan kegiatan yang lebih luas dari BUKU I, dengan kegiatan treasury terbatas dan dapat melakukan penyertaan 15% di lembaga keuangan dalam negeri.
Lalu BUKU III, yaitu bank dapat melakukan kegiatan dalam rupiah dan valas yang lebih luas dari BUKU II dan melakukan penyertaan modal 25% di kawasan Asia, dan Buku IV, dimana bank dapat  melakukan kegiatan rupiah dan valas, serta penyertaan modal 35% di kawasan international world wide.Â
“Hal tersebut tidak ditemukan di regulasi BPR, sehingga cakupan kegiatan BPR yang berpotensi menyerap dana masyarakat, yang dapat juga dialokasikan ke aset, menjadi tidak terbatas,” jelasnya.
Bahkan, salah satu BPR di Lampung memiliki aset lebih dari 17 triliun, dimana jumlah tersebut merupakan aset yang besar bagi BPR.Â
Hal tersebutlah yang menjadi alasan mengapa OJK perlu melakukan pengawasan lebih terhadap BPR. Â Â
“Jika ada BPR yang asetnya melebihi bank umum, atau bahkan berpotensi untuk mengoperasikan kegiatan bank umum, sebaiknya lebih diperhatikan, apakah akan diperkenankan terus menerus menjadi BPR?†ujar Edy Sukarno, yang juga pengamat perbankan, khususnya BPR.Â
Edy kemudian menyarankan, jika aset yang dimiliki BPR sudah melampaui jumlah tertentu, ada baiknya, dewan direksi dan komisaris harus menempuh fit and proper test tahap lanjut dengan materi yang lebih berat. Analoginya seperti pajak, brevet A Â menangani perorangan, brevet B menangani badan atau perusahaan dan brevet C menangani pajak internasional. Begitupun dengan jumlah aset yang dimiliki BPR.Â
Jumlah aset tersebut harus diklasifikasikan, agar lebih disesuaikan dengan kemampuan BPR mengelola dana, karena untuk mengolah dana yang sangat besar, diperlukan kemampuan lebih, guna meniti industri BPR yang well organized.Â
Â
Sebaiknya, OJK lebih optimal dalam merancang regulatory policy yang menjadi acuan penting operasional lembaga keuangan, sehingga ranah dan cakupan BPR dan bank umum dapat fokus sesuai dengan bidangnya, hingga pada akhirnya tidak perlu lagi terjadi persaingan antara BPR dan bank umum, melainkan hanya persaingan antara BPR dan BPR, dan bank umum dengan bank umum.Â
“Menggerakkan perbankan harus komprehensif, BPR dan Bank Umum harus beroperasional dengan baik sesuai dengan ranahnya, maka dari itu, peraturan dan pembinaan antara BPR dan bank umum harus berbeda, tergantung dengan ranahnya. Contohnya, dalam pemberian kredit, BPR bersifat lebih persuasif dan kekeluargaan, sehingga lebih cocok untuk UMKM, sedangkan bank umum lebih membutuhkan analisis detil yang bersifat teoritis dalam memberikan kredit, sehingga lebih cocok untuk usaha yang lebih besar†lanjut Edy Sukarno.Â
BPR harus lebih dibina agar dapat terlibat secara maksimal dalam pendanaan usaha mikro kecil menengah, dan kegiatan bank umum yang lebih tepat atau menjangkau ranah BPR harus lebih diawasi atau dibatasi.Â
Lebih difokuskannya BPR dan bank umum dalam ranahnya masing-masing tidak hanya berdampak pada persaingan antar bank, namun juga berdampak ke peningkatan pergerakan ekonomi Indonesia ke arah yang lebih positif, karena setiap jenis kegiatan usaha dapat ditangani oleh lembaga keuangan yang tepat.
Laporan: Muhammad Hafidh
Foto: Dok ABFI Perbanas