KedaiPena.com – Setidaknya, dinyatakan ada empat penyebab atas besarnya kesenjangan literasi dan inklusi keuangan syariah dengan sektor konvensional.
Kepala Grup Literasi dan Inklusi Keuangan Syariah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muhammad Ismail Riyadi mengatakan tingkat literasi keuangan syariah di Indonesia masih sangat rendah.
“Kalau kita lihat survei OJK, Survei Nasional Literasi Keuangan Indonesia (SNLIK) yang selalu dilakukan selama 3 tahun, tahun 2022 misalnya, gap antara tingkat literasi keuangan secara keseluruhan adalah 49 persen, keuangan syariahnya 9,14 persen. Jadi masih ada gap sekitar 40 persen,” kata Ismail dalam Media Workshop “Sinergi BCA Syariah & Media Tingkatkan Literasi & Inklusi Perbankan Syariah” di Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, ditulis Minggu (29/10/2023).
Ia menjelaskan makna dari 9,14 persen itu adalah hanya ada 9 dari 100 orang yang benar-benar melakukan keuangan syariah.
“Hal yang sama juga terjadi di inklusi keuangan syariah, yang tercatat baru mencapai 12,12 persen, tertinggal jauh dari tingkat inklusi keuangan secara umum yang mencapai 85 persen,” urainya.
Ia menyatakan OJK menilai ada sejumlah penyebab yang menyebabkan tingkat literasi dan inklusi keuangan syariah masih kecil. Pertama adalah pemahaman masyarakat terhadap keuangan syariah masih rendah kendati awareness terhadap keuangan syariah tinggi.
“Salah satunya, yang saya sering dengar, adalah terkait istilahnya akad-akadnya masih bahasa Arab, meskipun semua industri keuangan sekarang sudah menggunakan bahasa Indonesia. Akadnya itu digunakan di belakang saat harus menjelaskan projek maupun menandatangani atau memahami transaksi,” urainya lagi.
Penyebab kedua, menurut Ismail adalah terkait diferensiasi proses yang terjadi di dalam masyarakat ketika dihadapkan pada produk-produk keuangan syariah dan konvensional yang sejenis.
“Perbedaan tersebut muncul, karena individu memiliki reaksi berbeda terhadap produk keuangan syariah dan konvensional. Ada yang menerima produk keuangan syariah dengan sifat yang lebih rasional berdasarkan keyakinan agama, ada pula yang lebih setia pada produk konvensional atau ada yang masih membandingkan produk syariah dengan produk konvensional,” katanya lebih lanjut.
Ia mengungkapkan produk perbankan syariah memiliki banyak variasi dalam bentuk akad (perjanjian) yang digunakan jika dibandingkan dengan produk konvensional.
“Namun, tantangan yang harus diatasi adalah cara menghadapi perbedaan preferensi individu dan mendidik masyarakat tentang produk keuangan syariah untuk meningkatkan literasi dan inklusi keuangan syariah,” ujarnya.
Ketiga yaitu kompetensi sumber daya insani di industri keuangan syariah yang harus ditingkatkan. Meskipun banyak perguruan tinggi dan lulusan ekonomi syariah, tetapi kebutuhan industri yang semakin tinggi menuntut pengembangan kapasitas sumber daya manusia di industri keuangan syariah, paparnya.
“Yang terakhir, adalah dari sisi produk dan layanan, pemanfaatan teknologinya belum optimal, serta aspek regulasi dan permodalan yang belum mendukung,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa