HARI ini tanggal 12 Oktober 2016 DPR lewat Rapat Paripurna kembali melakukan pembahasan mengenai nasib Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak‎.
Â
Pada tanggal 23 Agustus 2016 lalu , Dewan Perwakilan Rakyat menunda pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak yang sedianya disahkan menjadi Undang-Undang dalam sidang paripurna, Dalam pembahasan di persidangan, belum semua fraksi menyetujui Perppu tersebut dijadikan UU atas sejumlah alasan‎.Â
‎Tujuh fraksi menyetujui untuk menjadikan Perppu No 1/2016 sebagai UU, sementara tiga fraksi belum menyatakan sikap. Tiga fraksi itu adalah Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Gerindra, dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera. DPR juga member kesempatan pemerintah untuk melengkapi hasil pembahasan tingkat satu dari pimpinan pansus untuk diagendakan kembali pada persidangan yang akan datang. Komisi VIII DPR pada akhir Juli lalu sepakat untuk membawa Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak ke tingkat kedua atau rapat paripurna.
Â
Sebelumnya  Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak presiden menyatakan bahwa Kejahatan Seksual terhadap anak merupakan kejahatan yang luar biasa, karena kejahatan tersebut telah mengancam  dan membahayakan jiwa anak-anak Indonesia. Peraturan tersebut merupakan  salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk memberikan perlindungan bagi anak-anak dari tindak kejahatan seksual yang menurut pemerintah semakin mengkhawatirkan.
Â
Dengan alasan karena semakin banyaknya kasus kekerasan seksual terhadap anak. Pemerintah mempertimbangkan bahwa kekerasan seksual terhadap anak semakin meningkat secara signifikan yang mengancam dan membahayakan jiwa anak, merusak kehidupan pribadi dan tumbuh kembang anak, serta menganggu rasa kenyamanan, ketentraman, kemananan, dan ketertiban masyarakat, maka pemerintah memandang sanksi pidana yang dijatuhkan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak belum memberikan efek jera dan belum mampu mencegah secara komphrensif terjadinya kekerasan seksual terhadap anak. ‎
Â
Mengobral PERPPU:Â Landasan PERPPU (Situasi Genting dan Darurat)Â sebetulnya tidak terpenuhi
Â
PERPPU biasanya dikeluarkan oleh eksekutif untuk mengatasi suatu “kegentingan yang memaksaâ€.
Selain itu seharusnya PERPPU harus dikaji secara matang dengan pendekatan yang multidisipliner atau interdisipliner. Pada situasi dan kondisi mengeluarkan PERPPU tersebut, pemerintah belum dapat menunjukan kepada publik mengenai kegentingan yang terjadi pada anak-anak yang mengalami kekerasan seksual.
Dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI Tahun 1945) disebutkan bahwa “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undangâ€.
Jika mengacu pada rumusan ini maka jelaslah bahwa sejatinya Perppu merupakan suatu peraturan pemerintah, namun berfungsi sebagai undang-undang‎. Dengan demikian Perppu merupakan salah satu instrumen hukum yang dapat ditetapkan oleh Presiden tanpa memerlukan keterlibatan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Peran DPR dalam konteks PERPPU baru terlihat pada Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUDNRI 1945 yang menegaskan bahwa “peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan berikut†dan “jika tidak mendapatkan persetujuan maka peraturan pemerintah itu harus dicabut”.
Namun terlihat bahwa pemerintah mengeluarkan PERPPU ini jauh dari persyaratan lahirnya suatu PERPPU yaitu situasi genting dan memaksa, tapi karena adanya kepentingan kelompok yang memaksa, pemerintah tidak siap untuk mengambil suatu solusi yang baik, pemerintah seolah-olah mencari keputusan yang tidak memberikan dampak yang positif bagi korban kejahatan seksual anak.
Â
Lari dari tanggung jawab  kepada korban
Â
Pemerintah yang telah mengatakan bahwa kejahatan seksual anak merupakan kejahatan yang luar biasa, oleh karena kasus kejahatan seksual anak merupakan kejahatan luar biasa, maka pemerintah seharusnya menjalankan tugasnya dan kewajibannya dengan maksimal dalam rangka memberikan keadilan, perlindungan dan pemulihan bagi korban dan memberikan pemenuhan hak-hak korban yaitu hak untuk mendapatkan kompensasi bagi korban atau keluarga korban. Â
Aliansi melihat bahwa PERPPU ini tidak memberikan perlindungan yang komprehensif bagi anak-anak Indonesia, hal ini terlihat jelas dari isi PERPPU tersebut, dimana persoalan-persoalan mengenai anak yang menjadi korban, tidak ada satu pun pasal-pasal yang mengatur mengenai anak-anak yang menjadi korban.
Pemerintah mengeluarkan peraturan ini secara terburu-buru tanpa mempertimbangkan masukan dari berbagai lapisan masyarakat, yang dimana masyarakatnya masih pro dan kontra terkait dengan rencana pemerintah untuk menerbitkan pelicu kebiri dalam PERPPU ini, Banyak alasan masyarakat melakukan penolakan terhadap rencana pemerintah menerbitkan PERPPU ini, diantaranya adalah pemerintah hanya sibuk untuk memberikan penghukuman bagi pelaku kejahatan seksual dengan tujuan untuk memberikan efek jera bagi pelaku, namun pemerintah lupa memikirkan untuk memprioritaskan korban untuk memberikan keadilan, perlindungan baik secara fisik maupun psikis bagi anak-anak yang menjadi korban dan melakukan pemenuhan hak-hak korban yang terjadi karena dampak dari kejadian yang telah dihadapi oleh korban.
Bahwa kami melihat bahwa Peraturan pemerintah yang telah diterbitkan tersebut, tidak ada satu pasal pun yang mencantumkan mengenai korban, khususnya pasal yang mengatur untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak korban.
Tidak Transparan
Â
Pemerintah dalam membuat dan mengeluarkan peraturan ini secara tertutup dan terkesan terburu-buru tanpa melibatkan peran serta masyarakat khususnya korban dan pendamping yang senantiasa bekerja untuk melakukan pendampingan terhadap korban. Pemerintah seperti menutup akses bagi masyarakat untuk mengetahui isi dari PERPPU tersebut.
Â
Pemerintah mengeluarkan PERPPU ini atas karena tekanan dan desakan dari sekelompok orang yang menginginkan agar pemerintah melakukan respon atas berbagai kasus kejahatan seksual anak yang terjadi dengan menerbitkan PERPPU tentang Perlindungan Anak. Pemerintah sepertinya tidak mempertimbangkan mengenai situasi dan kondisi di masyarakat, dimana masyarakat masih melakukan diskusi mengenai rencana pemerintah mengelurkan PERPPU tersebut, masih banyak masyarakat yang masih pro dan kontra khususnya mengenai isi PERPPU.Â
Â
PERPPU ini tidak dibahas secara terbuka, hal ini kami sampaikan bahwa semenjak adanya pembahasan mengenai PERPPU yang hanya berada di kalangan terbatas saja. Masyarakat hanya mendengar dari media massa terkait dengan wacana pemerintah untuk menerbitkan PERPPU Kebiri yang dirubah namanya menjadi PERPPU Perlindungan Anak. pemerintah tidak mengikut sertakan masyarakat dalam untuk memberi masukan pada PERPPU ini.‎
Melulu Penghukuman bagi Pelaku: Hukuman Mati dan Kebiri Kimia harusnya di tolak
Â
Peraturan yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah hanya mengatur dan memuat persoalan penghukuman bagi pelaku, sementara hal-hal yang berkaitan dengan korban tidak menjadi sebuah prioritas dari pemerintah.
Â
PERPPU mengatur mengenai pemberatan pidana berupa hukuman 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana, pidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun penjara, dengan beberapa syarat yang telah ditentukan dalam PERPPU tersebut.
Â
PERPPU ini juga mengatur mengenai hukuman tambahan 1/3 (sepertiga) dari tindak pidana yang telah dilakukan dan ini dilakukan jika pelaku kejahatan merupakan recidivis dan tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang yang dipercaya, dan orang-orang yang seharusnya melindungi anak dari berbagai kejahatan.
Â
Di satu sisi penjatuhan hukuman mati bagi pelaku kejahatan seksual, justru akan mengalihkan tujuan rehabilitasi terhadap pelaku tidak tercapaitermasuk rehabilitasi korban Â
Â
PERPPU ini juga mengatur mengenai pidana tambahan berbentuk pengumuman identitas pelaku serta tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat deteksi elektronik. Pemerintah mengeluarkan PERPPU ini tanpa mempertimbangkan dampak bagi pelaku, khususnya berkaitan dengan penerapan hukuman kebiri kimia bagi pelaku. Beberapa ahli kesehatan telah menyampaikan pendapat mengenai penerapan hukuman kebiri ini, yang dimana memberik dampak negatif bagi tubuh pengguna suntikan kimia tersebut.
‎
Maka berdasarkan hal di atas kami menyampaikan kepada DPR dan Pemerintah atas Pengesahan PERPPU tersebut:
1.      DPR seharusnya tidak mempermudah pengesahan  PERPPU yang terkesan diobral oleh Pemerintah. Perppu ini harusnya di tolak.
2.      DPR  seharusnya mendorong pemerintah mengeluarkan peraturan yang  memberikan hak-hak korban yaitu hak untuk mendapatkan kompensasi yang komprehensif dari negara;
3.      DPR memaksa pemerintah  untuk melakukan proses pemulihan (rehabilitasi) yang maksimal bagi korban kejahatan seksual anak secara nasional lewat seluruh upaya yang tersedia.
Oleh Humas ‎Ajeng Gandini Kamilah‎, Aliansi 99 Tolak Perppu Kebiri