KedaiPena.Com – Obat terapi yang dapat untuk pasien covid-19 saat ini langka dipasaran. Sekalipun ada sejumlah apotek mengaku tidak berani menjualnya.
Penyebab ialah soal ketetapan HET yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan membuat pihak apotek tidak ingin dianggap mengambil keuntungan lebih.
Hal tersebut disampaikan oleh staff teknis Apotek Kawi Jaya Pamulang dan petugas Apotek K 24 Rawa Buntu, saat ditemui KedaiPena.Com, Rabu, (7/7/2021).
Wakijo staf teknis Apotek Kawi Jaya Pamulang, bahwa saat ini distributor pemilik obat terapi Covid-19 layaknya Ivermectin, Oseltamivir, Azithromycin, Tocilizumab telah kosong kurang lebih 3-4 minggu yang lalu.
“Kalau sekarang-sekarang ini pada kosong, karena distributornya sendiri pada enggak ada. Jadi kalo untuk terapi yang covid ini kita kosong lah, paling Fapifilir doang kita punya, yang lain kita kosong. Ada beberapa yang punya stoknya, cuman harganya kita ga masuk dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) (Kementerian Kesehatan) yang ditempel itu,” ujar Wakijo.
Selain langkanya obat jenis tersebut (terapi Covid-19), kata Wakijo, harga yang melambung tinggi membuat sejumlah apotek di Kota Tangsel enggan menjual obat terapi Covid-19 itu.
Pasalnya, dengan adanya ketetapan HET, membuat pihaknya tidak ingin dianggap mengambil keuntungan yang berlebih.
“Kalau distributornya kita ada APL (Anugrah Pramindo Lestari. Kemarin itu Azithromycin dari Pfizer punya, emang sebelumnya dari dulu emang mahal. Satu tablet aja, biasanya kita jual Rp.80ribu, sedangkan itu (HET Kementerian Kesehatan) Rp.1700 per tablet, kan jauh sekali. Untuk sementara dia (PT. Pfizer Indonesia) kayanya ada stocknya. Cuma gara-gara selembaran kaya gitu, dia juga ga bisa suplai dulu,” jelas Wakijo.
Terpisah, Imas Fajri Apriliani’mah petugas Apotek K24 di bilangan Serpong. Imas menyebut untuk moda obat jenis Azithromycin sudah diatas HET yang ditetapkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Sehingga, imbuh Imas, perlu adanya evaluasi terhadap HET yang dikeluarkan oleh Pemerintah.
“Kalau yang diawasi pemerintah kan, harganya. Untuk harga memang, kalo kita lihat dari Pedagang Besar Farmasi (PBF), harganya masih di bawah harga HET yang tertera di kemasan. Di tiap obat itu sudah tertera HETnya, kita jual masih dibawah HET,” ujar Imas.
“Cuman dari pemerintahan itu yang berbeda. Di harga untuk obat antibiotik Azithromycin, pemerintah meminta kita bisa jual harganya Rp 1.700 per tablet, sedangkan kita dapet dari PBF tadi modalnya diatas Rp 1.700. Kemarin sidak dari kejaksaan, kita sudah komplain. Kata tim sidak, ini akan di evaluasi dulu dari pemerintahnya,” ungkap Imas.
Menurut Imas, distributor utama obat dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti indofarma dan kimia farma, tidak memiliki stok obat seperti yang dimaksud.
“Distributor utamanya adalah Kimia Farma, dan Indofarma. Kita dari pemerintah pakai Kimia Farma dan Indofarma, cuman obatnya engga ada, engga bisa dapat. Oseltamivir itu mulai dari ledakan Covid-19 kedua, seminggu sebelum ledakan, itu udah engga ada. Udah 2 atau 3 minggu lalu, udah engga ada dari Kimia Farma,” tutup Imas.
Pemerintah telah menetapkan harga eceran tertinggi (HET) obat-obatan untuk terapi penyembuhan Covid-19. Pasalnya, harga sejumlah obat-obatan dalam terapi penyembuhan pasien Covid-19 melambung tinggi.
Pada 3 Juli 2021, Kementerian Kesehatan mengeluarkan kebijakan dengan menetapkan harga eceran tertinggi (HET) untuk Ivermectin dan 10 obat lainnya.
Laporan: Sulistyawan