KedaiPena.Com – Penasehat Hukum Nur Alam secara resmi mendaftarkan permohonan praperadilan atas penetapan Gubernur Sulawesi Tenggara tersebut sebagai tersangka. Nur Alam ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan dugaan melanggar Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 UU Tipikor oleh KPK.
Dalam keterangannya, salah seorang advokat yang mewakili Nur Alam, Maqdir Ismail menjelaskan gugatan pra peradilan ini ini terdaftar dengan nomor: 127/Pid.Prap/2016 PN.Jkt. Sel.
“Alasan praperadilan berkenaan dengan penerbitan IUP yang dipersangkakan oleh KPK telah melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Tipikor ini pernah digugat  oleh PT. Prima Nusa Sentosa di Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam putusannya Mahkamah Agung memutuskan bahwa penerbitan IUP tersebut, sesuai dengan kewenangan dan prosedur dalam penerbitan IUP, sehingga berdasarkan ketentuan padal 37 huruf b Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batu Bara, adalah menjadi kewenangan Gubernur   untuk penerbitan izinnya,” tegas dia dalam keterangan yang diterima Redaksi, Sabtu (17/9).
Dalam penetapan Nur Alam sebagai tersangka ini, sambungnya, belum ada penghitungan kerugian keuangan sebagai elemen pokok dugaan pebuatan melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi No.003/PUU-IV/2006, tanggal 25 Juli 2006.
“Bahwa dalam perkara ini, ketika Nur Alam ditetapkan sebagai Tersangka pada tanggal 15 Agustus 2016 (saat keluarnya SprinDik 15 Agustus 2016), tidak ada perhitungan kerugian keuangan Negara yang jumlahnya nyata dan pasti serta dilakukan oleh ahli yang berwenang menurut UU yakni BPK,” sambung dia.
Â
Alasan lain menurut Maqdir Ismail, sesuai dengan UU KPK, KPK tidak diperkenankan melakukan penyelidikan, ketika ada lembaga lain sedang melakukan penyelidikan atas obyek yang sama.
Dalam MOU antara KPK, Kejaksaan Agung RI dan Kepolisian Negara RI, terkait dengan ketentuan pasal 6, 7, dan 8 UUKPK, dimana diantaranya MOU menyatakan pada pokoknya, “Dalam hal para pihak melakukan penyelidikan pada sasaran yang sama, untuk menghindari duplikasi penyelidikan maka penentuan instansi yang mempunyai kewajiban untuk menindaklanjuti penyelidikan adalah instansi yang lebih dahulu mengeluarkan surat perintah penyelidikan atau atas kesepakatan para pihakâ€.
Â
Dijelaskan oleh Maqdir Ismail, bahwa Kejaksaan Agung sedang melakukan penyelidikan, berdasarkan Surat perintah Penyelidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: Print-04/F.2/Fd.1/01/2013 tanggal 15 Januari 2013. Surat dengan yang diterbitkan oleh Kejaksaan Agung RI No. R-391/F.2/Fd.1/08/2015 tertanggal 24 Agustus 2015 yang ditujukan kepada Kepala PPATK.
Pada pokoknya, hal ini menyatakan bahwa, “Sehubungan dengan surat dari Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan Keuangan (PPATK) S-604/1.03.1/PPATK/12/12/SR tanggal 12 Desember 2012 Perihal: Hasil Analisis Transaksi keuangan Yang Berindikasi Tindak Pidana Korupsi Atas Nama NUR ALAM, SE. dan berdasarkan hasil penyelidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang atas nama NUR ALAM, SE, ternyata sampai saat ini belum ditemukan alat bukti yang cukup untuk dapat ditingkatkan ke tahap penyidikanâ€.
“Artinya sampai dengan tanggal tanggal 23 Agustus 2015 Kejaksaan Agung masih melakukan penyelidikan,†sambung dia.
Â
Akan tetapi ternyata berdasarkan Surat Perintah Penyelidikan No.: Sprin.Lidik-26/01/04/2015 tanggal 06 April 2015 (sesuai konsiderans Surat Permintaan Keterangan No. R-299/22/03/2016 tanggal 10 Maret 2016 yang diterbitkan KPK), KPK melakukan penyelidikan perkara yang sama dengan perkara yang sedang diselidiki oleh Kejaksaan Agung RI berdasarkan surat perintah penyelidikan tanggal 15 Januari 2013, sehingga terjadi duplikasi penyelidikan. Ini adalah pelanggaran terhadap UU KPK dan MOU KPK, Kejaksaan Agung dan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penyelidik KPK.
Â
Selain itu alasan Maqdir Ismail dan Team, alasan mengajukan praperadilan, karena “berdasarkan SPK 10 Maret 2016 ditandatangani oleh HERRY MULYANTO (Direktur Penyelidikan KPK), dimana  KPK mengundang/meminta Nur Alam  agar hadir (in casu. bukan memanggil) di kantor  KPK di Jakarta pada hari Rabu, tanggal 15 Maret 2016 untuk bertemu dengan HARUN AL RASYID. Kedua orang Penyelidik tersebut bukan berasal dari Instansi Kepolisian yang  diberhentikan sementara dari Instansi Kepolisian untuk menjadi penyelidik KPK sebagaimana ditentukan oleh undang-undang KPK.
Â
Diterangkan pula oleh Madir Ismail, oleh karena Nur Alam belum sempat memberi keterangan, maka berdasarkan Surat Permintaan Keterangan No.R-828/22/03/2016 yang ditandatangani oleh Herry Mulyanto (“SPK 01 Juli 2016â€) dalam butir 2 paragraf ketiga mencantumkan suatu keterangan.
“Surat ini adalah Surat Terakhir yang disampaikan KPK kepada Saudara terkait perihal yang sama. Apabila Saudara tidak dapat menghadiri kembali, kami akan melanjutkan proses penyelidikan tanpa keterangan/klarifikasi dari saudara,” tambahnya.
Â
Bagi Maqdir Ismail, surat tersebut  merupakan ancaman yang dimaksudkan sebagai upaya paksa yang dilakukan oleh Penyelidik dalam tingkat penyelidikan. Ini adalah pelanggaran undang-undang yang dilakukan oleh penyelidik KPK. Buktinya  kurang dari sebulan kemudian, tepatnya tanggal 15 Agustus 2016, KPK  benar-benar mengakhiri proses penyelidikan tanpa ada keterangan dari Nur Alam, bahkan proses perkara dilanjutkan ke tingkat Penyidikan dengan mengeluarkan Sprindik 15 Agustus 2016 dan bahkan seketika itu pula menetapkan Nur Alam  menjadi tersangka.
Cara penegakan hukum seperti ini, menurut Maqdir Ismail, “bukanlah contoh penegakan hukum yang baik. Ini adalah bentuk penegakan hukum dengan melanggar hukum, sebab penetapan tersangka ini mengabaikan Putusan MK 21/2014, karena tidak melakukan pemerikasaan terlebih dahulu terhadap calon tersangka.
Â
Bahwa penyidikan dimulai sejak dikeluarkannya SprinDik 15 Agustus 2016 dan berdasarkan pemberitaan yang beredar luas di media online, penyidikan dilakukan oleh para penyidik diantaranya seorang penyidik bernama Novel. Bahkan dalam pemberitaan-pemberitaan tersebut ditegaskan bahwa penyidikan yang dilaksanakan di Kota Kendari Sulawesi Tenggara pada tanggal 24 Agustus 2016 itu dipimpin oleh Novel.
Menurut Maqdir Ismail, sesungguhnya Novel telah diberhentikan dan/atau berhenti tetap dari instansi Kepolisian sesuai dengan Keputusan Kapolri Nomor: Kep/946/XI/2014 tanggal 25 November 2014 tentang Pemberhentian Dengan Hormat dari Dinas Polri atas nama Novel, sehingga tidak bisa menjadi penyidik KPK, sesuai UU KPK.
(Prw)